JAKARTA — Pemerintah kembali membuka ruang bagi penggunaan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Keputusan ini menandai perubahan strategi nasional dalam menghadapi tantangan transisi energi, sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia memilih pendekatan yang lebih realistis untuk menjamin ketahanan energi nasional.
Dalam RUPTL terbaru yang disusun oleh PT PLN, tercatat bahwa pemerintah menargetkan penambahan total kapasitas pembangkit listrik hingga 69,5 giga watt (GW) sampai 2034. Dari angka tersebut, 16,6 GW berasal dari sumber energi berbasis fosil, terdiri atas 10,3 GW dari gas dan 6,3 GW dari batu bara.
Porsi batu bara yang kembali diaktifkan dalam perencanaan ini merupakan pembalikan dari arah kebijakan sebelumnya. Berdasarkan dokumen RUPTL periode 2021–2030, penambahan pembangkit berbasis batu bara dijadwalkan berakhir pada 2026 dengan kapasitas 660 megawatt (MW). Namun kini, batu bara justru direncanakan akan kembali digunakan secara bertahap hingga 2033.
Tercatat dalam roadmap baru, kapasitas PLTU batu bara akan mencapai 3,2 GW pada 2025. Kemudian berlanjut pada 2029 sebesar 200 MW, pada 2030 sebesar 0,6 MW, 2032 sebesar 1,4 GW, dan 2033 sebesar 800 MW. Penambahan ini disusun bukan untuk menggantikan energi terbarukan, tetapi untuk melengkapi sistem pembangkitan listrik yang sangat bergantung pada intermitensi energi baru dan terbarukan (EBT).
Seorang pejabat energi nasional menjelaskan bahwa perubahan ini adalah bentuk adaptasi terhadap realitas global. Menurutnya, Indonesia perlu mengambil langkah realistis dalam memastikan kebutuhan listrik nasional tetap terpenuhi.
"Kalau memang negara-negara maju saja sekarang mundur dari agenda transisi energi, kenapa Indonesia harus terlalu idealis?" ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa sejumlah negara Eropa justru masih mencari batu bara dari Indonesia meskipun sebelumnya mereka mendorong penggunaan energi bersih.
Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan batu bara bukan untuk mendominasi pasokan energi, melainkan untuk menjaga kestabilan sistem pembangkitan. "Batu bara akan digunakan sebagai pemicu atau pancingan, terutama saat malam hari ketika pembangkit EBT seperti PLTS tidak bisa menyuplai listrik," jelasnya.
Masalah utama yang dihadapi energi terbarukan adalah sifat intermitennya. PLTS, misalnya, hanya mampu menghasilkan listrik pada siang hari. Maka dari itu, kehadiran PLTU batu bara tetap diperlukan untuk menopang sistem saat pasokan dari EBT menurun, khususnya pada malam hari atau saat cuaca ekstrem.
Pemerintah juga menegaskan bahwa keberadaan PLTU batu bara di RUPTL baru bukan berarti akan menunda target net zero emission (NZE) Indonesia. Justru, langkah ini merupakan strategi antara untuk menjaga ketersediaan energi sambil terus mendorong investasi pada sektor EBT dan pengembangan teknologi penyimpanan energi seperti baterai.
Sementara itu, perihal suntik mati PLTU, pemerintah menyatakan bahwa langkah itu hanya akan diambil jika tersedia skema pendanaan yang layak dan tidak membebani anggaran negara. Menurut pejabat terkait, pemerintah terbuka untuk memensiunkan PLTU lebih dini, asalkan terdapat komitmen pendanaan dari lembaga donor internasional.
“Kalau memang mau disuntik mati, ya kasih dananya dulu. Negara butuh uang, dan pensiun dini itu tidak gratis. Kalau ada bunga rendah, ya bisa kita pertimbangkan,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa tekanan dari lembaga internasional tidak bisa dijadikan dasar tunggal untuk keputusan strategis dalam sektor energi. “Kalau tidak bisa kasih solusi pendanaan yang ringan, jangan minta kami buru-buru suntik mati PLTU,” tambahnya.
Sikap pemerintah ini juga mendapat penegasan dari perusahaan listrik negara. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPR RI, pimpinan PT PLN menyebutkan bahwa dalam RUPTL 2025–2034, tidak ada lagi rencana untuk melakukan pensiun dini (coal phase-out) terhadap PLTU batu bara.
Sebaliknya, PLN menyusun skema pengurangan penggunaan batu bara secara bertahap (coal phase-down). Artinya, operasional PLTU akan dikurangi perlahan sambil mempersiapkan pembangkit EBT dan infrastruktur penunjangnya agar lebih matang dan stabil.
“Kami tetap mendukung transisi energi, namun pendekatannya harus terukur dan tidak membahayakan ketahanan energi nasional,” ujar pejabat PLN dalam kesempatan itu.
Pengamat energi memandang langkah ini sebagai bentuk kompromi antara idealisme dan realitas. Ia menilai pemerintah berada di jalur yang benar karena tidak sekadar mengikuti tekanan global, melainkan mengutamakan kepentingan rakyat dalam hal ketersediaan listrik yang andal dan terjangkau.
Sebagai catatan, dominasi EBT dalam RUPTL tetap dipertahankan. Sebanyak 76% dari penambahan pembangkit hingga 2034 berasal dari sumber energi baru dan terbarukan. Pemerintah juga tengah mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, biomassa, dan tenaga surya dalam skala besar.
Namun demikian, jalan menuju sistem kelistrikan yang sepenuhnya berbasis EBT masih panjang. Banyak tantangan teknis dan ekonomi yang harus diatasi, mulai dari ketersediaan lahan, investasi teknologi, hingga infrastruktur transmisi dan distribusi.
Rencana penggunaan kembali batu bara dalam PLTU hingga 2034 menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin terjebak dalam retorika semata. Pemerintah memilih langkah pragmatis yang menyeimbangkan antara keberlanjutan, ketersediaan energi, dan kepentingan nasional.
Dengan demikian, RUPTL 2025–2034 menjadi dokumen penting yang mencerminkan arah kebijakan energi Indonesia ke depan: bertransisi, tetapi tidak tergesa; berubah, namun tetap menjaga daya tahan sistem energi nasional.