JAKARTA — Indonesia menargetkan posisi sebagai salah satu dari lima produsen baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) terbesar di dunia pada tahun 2040. Langkah ambisius ini merupakan bagian dari strategi besar pemerintah dalam memperkuat industri hilir dan rantai pasok kendaraan listrik nasional melalui hilirisasi sumber daya alam dan penanaman modal strategis.
Pemerintah menyadari bahwa masa depan industri otomotif dunia akan sangat dipengaruhi oleh kendaraan listrik. Untuk itu, Indonesia tak ingin hanya menjadi penyedia bahan mentah seperti nikel, tetapi juga pemain utama dalam industri manufaktur baterai EV yang bernilai tinggi.
"Indonesia menargetkan tidak hanya menjadi produsen kendaraan listrik, tetapi juga sebagai salah satu pemain utama industri baterai listrik dunia. Bahkan pada 2040, kita diproyeksikan menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam produksi baja nirkarat atau stainless steel," kata Edy Junaedi, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.
Strategi Terintegrasi dari Hulu ke Hilir
Upaya Indonesia untuk menduduki posisi lima besar dunia dalam industri baterai tidak datang begitu saja. Pemerintah telah merancang strategi komprehensif dan terintegrasi, mulai dari pemanfaatan kekayaan sumber daya alam hingga pengembangan industri manufaktur baterai.
Salah satu kekuatan utama Indonesia terletak pada cadangan nikel, bahan utama dalam produksi baterai lithium-ion. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, dan potensi ini dijadikan fondasi untuk memperkuat rantai pasok baterai EV.
Menurut ASEAN Briefing, Indonesia menargetkan produksi baterai kendaraan listrik hingga mencapai kapasitas 140 GWh per tahun pada 2030, yang setara dengan 4 hingga 9 persen dari permintaan baterai EV global. Target ambisius ini diharapkan dapat menopang kebutuhan baterai baik untuk pasar domestik maupun internasional.
“Indonesia memiliki posisi strategis karena bahan mentahnya tersedia. Sekarang tantangannya adalah mengintegrasikan seluruh rantai pasok dengan efisien,” tulis ASEAN Briefing dalam laporannya.
Gencar Tarik Investasi Asing dan Bentuk Aliansi Global
Dalam rangka mewujudkan ambisi ini, Indonesia aktif menjalin kerja sama strategis dengan pemain global di sektor baterai dan kendaraan listrik. Salah satu kolaborasi penting dilakukan dengan perusahaan raksasa asal China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL).
CATL telah menandatangani kerja sama dengan BUMN tambang MIND ID untuk pengembangan industri baterai di Indonesia. Investasi ini mencakup pembangunan fasilitas produksi baterai, riset, serta pengembangan teknologi.
Di samping itu, kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah telah menjadi episentrum produksi nikel dan bahan baku baterai lainnya. IMIP berhasil menarik investasi besar-besaran dari perusahaan multinasional dan memainkan peran penting dalam rantai pasok global kendaraan listrik.
“IMIP kini sudah menjadi bagian integral dari ekosistem kendaraan listrik dunia. Dalam skala produksi, kawasan ini telah melampaui beberapa negara produsen nikel besar lain seperti Australia,” tulis The Australian.
Kawasan lain seperti Weda Bay Industrial Park dan Batang Integrated Industrial Estate juga disiapkan untuk mendukung pengolahan logam dan produksi komponen baterai.
Kebijakan Progresif Pemerintah Dorong Hilirisasi
Pemerintah telah mengambil berbagai langkah kebijakan yang mendukung perkembangan industri baterai listrik, termasuk larangan ekspor bijih nikel mentah sejak awal 2020. Kebijakan ini mendorong investor untuk membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, pembebasan bea masuk mesin, dan non-fiskal seperti kemudahan perizinan, lahan, dan dukungan infrastruktur.
Salah satu terobosan penting adalah pembentukan Indonesia Battery Corporation (IBC), perusahaan patungan antara BUMN seperti PLN, Pertamina, MIND ID, dan Antam. IBC memiliki peran sebagai koordinator dan motor utama dalam mengembangkan industri baterai terintegrasi nasional.
“IBC menjadi ujung tombak hilirisasi industri baterai Indonesia. Tujuan utamanya adalah menciptakan kemandirian teknologi dan daya saing global,” ujar salah satu perwakilan IBC dalam wawancara dengan Kontan.
Tantangan: SDM, Teknologi, dan Infrastruktur
Meski memiliki potensi besar, Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang teknologi baterai dan manufaktur kendaraan listrik. Hal ini menjadi perhatian utama dalam menciptakan tenaga kerja industri berdaya saing global.
Selain itu, akses terhadap teknologi tinggi dan infrastruktur penunjang juga masih menjadi pekerjaan rumah. Untuk itu, kolaborasi dengan mitra asing menjadi krusial dalam proses transfer teknologi dan alih pengetahuan.
“Tantangan utama adalah teknologi dan SDM. Tapi dengan keterlibatan investor global dan kebijakan proaktif, kami yakin dapat menutup gap ini,” ujar Edy Junaedi.
Masa Depan Indonesia di Industri Kendaraan Listrik Global
Dengan strategi yang terintegrasi, dukungan regulasi, dan investasi global yang semakin mengalir, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik dunia. Upaya ini bukan hanya akan meningkatkan daya saing industri nasional, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Indonesia kini sedang berada pada momentum penting dalam transformasi industrinya. Apabila seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat—dapat bersinergi, maka target menjadi lima besar produsen baterai EV dunia bukanlah angan-angan semata.
“Transformasi menuju industri hijau berbasis baterai dan kendaraan listrik bukan hanya soal ekonomi, tapi juga komitmen kita pada masa depan bumi,” pungkas Edy.