Potensi Pajak Ekspor Batu Bara untuk Dukung Net Zero 2060

Kamis, 19 Juni 2025 | 08:52:52 WIB
Potensi Pajak Ekspor Batu Bara untuk Dukung Net Zero 2060

JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan yang potensial untuk mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Salah satu langkah strategis yang mulai dikaji adalah optimalisasi pajak ekspor dari sumber daya alam (SDA), termasuk batu bara, sebagai salah satu kontributor utama penerimaan negara.

Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menjelaskan bahwa terdapat dua kriteria utama dalam menentukan potensi sumber daya alam untuk mendukung pendanaan transisi energi. "Yang pertama adalah sumber daya alam itu memiliki karakteristik demand yang tidak elastis. Jadi harganya itu, demand-nya tidak terpengaruh dengan harga, walaupun harganya naik," ungkap Abdurrahman.

Selain karakteristik demand yang tidak elastis, kriteria kedua menurut Abdurrahman adalah dominasi Indonesia terhadap sumber daya tersebut, baik dari segi cadangan maupun produksi. Berdasarkan dua kriteria tersebut, Indonesia memiliki tiga komoditas unggulan yang memenuhi syarat maksimal, yaitu nikel, batu bara, dan Crude Palm Oil (CPO).

"Ada tiga sumber daya alam kita yang memenuhi kedua kriteria tersebut secara maksimal. Yang pertama ada nikel, kedua batu bara dan ketiga adalah Crude Palm Oil (CPO)," beber Abdurrahman.

Secara volume, ekspor batu bara Indonesia tercatat mencapai sekitar 400 juta ton selama periode 2023-2024. Dengan biaya produksi yang relatif rendah dibandingkan harga jual global, serta status Indonesia sebagai eksportir batu bara terbesar dunia, batu bara dipandang sebagai salah satu sumber potensial untuk meningkatkan penerimaan negara melalui skema pajak ekspor.

"Dengan kondisi permintaan batu bara global yang tidak terlalu elastis terhadap harga serta posisi Indonesia sebagai eksportir terbesar di dunia, maka para pengusaha batu bara lokal dapat membebankan sebagian pajak ekspor ke luar negeri," jelas Abdurrahman.

Selain meningkatkan pendapatan negara, penerapan pajak ekspor batu bara ini juga memiliki manfaat lain. Salah satunya adalah menurunkan harga batu bara domestik secara alami, sehingga memberikan efek serupa dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Ini tentu menguntungkan bagi kebutuhan energi domestik yang masih sangat bergantung pada batu bara.

Berdasarkan simulasi berbasis data periode 2020–2024, penerimaan negara dari pajak ekspor batu bara diperkirakan dapat mencapai antara USD700 juta hingga lebih dari USD5 miliar per tahun. Angka tersebut sangat signifikan untuk mendukung pendanaan transisi energi yang berkeadilan.

"Pendapatan ini dapat dialokasikan secara khusus untuk transisi energi yang berkeadilan," tambah Abdurrahman.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Bidang Sinkronisasi Kebijakan Program Prioritas Ekonomi Dewan Energi Nasional (DEN), Tubagus Nugraha, menegaskan bahwa penggunaan sumber daya alam harus sesuai dengan amanat konstitusi.

"Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, penggunaan sumber daya alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat," tegas Tubagus.

Menurutnya, hasil dari kekayaan alam seperti batu bara tidak boleh hanya menguntungkan segelintir kelompok saja, melainkan harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Namun demikian, Tubagus menyoroti bahwa pemanfaatan batu bara di Indonesia selama ini masih lebih banyak berfokus pada sektor hulu (upstream), yakni eksplorasi dan ekspor. Padahal, sektor midstream dan downstream atau hilirisasi justru masih belum tergarap optimal.

"Penggunaan sektor batu bara di Indonesia sejauh ini hanya di upstream saja, belum ada penggunaan batu bara di midstream, bahkan sampai di downstream," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa salah satu kendala dalam optimalisasi pemanfaatan batu bara di sektor hilir adalah keterbatasan teknologi. "Karena memang teknologinya seperti itu, kalau tidak digunakan untuk energi, ya (batu bara) hanya dijual," imbuh Tubagus.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar pemerintah dapat mengambil langkah konkret untuk memanfaatkan sumber daya batu bara secara maksimal, tidak hanya untuk ekspor tetapi juga untuk mendukung industrialisasi di dalam negeri.

"Kami mendorong agar pemerintah bisa memanfaatkan penggunaan sumber daya batu bara, khususnya untuk industrialisasi seperti pembangkit listrik tenaga batu bara," lanjut Tubagus.

Selain melalui sektor energi, pengembangan hilirisasi batu bara di Indonesia juga dapat diarahkan pada industri kimia, metalurgi, dan bahkan produksi bahan baku untuk energi terbarukan seperti gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) sebagai substitusi elpiji.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran global terkait transisi energi bersih dan target NZE 2060, Indonesia harus mampu memaksimalkan potensi pendapatan dari sektor batu bara, baik melalui pajak ekspor maupun pengembangan hilirisasi yang bernilai tambah.

Dengan optimalisasi penerimaan dari sektor SDA yang strategis, pemerintah memiliki peluang besar untuk mempercepat realisasi transisi energi bersih dan berkeadilan tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan.

Kolaborasi yang sinergis antara pemerintah pusat, daerah, pelaku industri, serta dukungan dari masyarakat akan menjadi kunci sukses dalam transformasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang lebih berkelanjutan dan sejahtera.

Terkini