JAKARTA - Harga batu bara global kembali mencetak rekor tertinggi dalam empat bulan terakhir. Lonjakan harga ini didorong oleh meningkatnya permintaan dari sejumlah negara besar seperti China, India, hingga negara Eropa seperti Jerman. Tren positif ini memperpanjang reli harga batu bara selama tujuh hari berturut-turut dan menjadi salah satu performa terbaik dalam perdagangan batu bara sepanjang 2025.
Mengacu pada data perdagangan Refinitiv, harga batu bara kontrak berjangka pada perdagangan Kamis, 19 Juni 2025 ditutup di level US$ 112,25 per ton, mengalami kenaikan 0,27% dibanding hari sebelumnya. Kenaikan tersebut memperpanjang tren penguatan harga batu bara selama tujuh hari beruntun, dengan total kenaikan mencapai 6,004% dalam periode tersebut.
Harga batu bara pada perdagangan kemarin juga tercatat sebagai yang tertinggi sejak 6 Februari 2025, atau lebih dari empat bulan terakhir. Tren penguatan harga selama sepekan ini menjadi yang terpanjang sejak reli serupa terjadi pada akhir April hingga awal Mei 2025, di mana kala itu harga batu bara terus melonjak selama delapan hari berturut-turut.
Lonjakan Permintaan dari China dan India
Salah satu faktor utama di balik penguatan harga batu bara dunia adalah meningkatnya permintaan dari dua negara konsumen batu bara terbesar di dunia, yakni China dan India. Data perdagangan global menunjukkan bahwa impor batu bara termal melalui jalur laut dari kedua negara tersebut pada Mei 2025 mencapai level tertinggi dalam lima bulan terakhir.
Lonjakan impor tersebut bukan tanpa alasan. Badan perencana negara China bahkan secara resmi meminta seluruh perusahaan pembangkit listrik di negaranya untuk melakukan pengisian ulang (re-stocking) batu bara domestik sebesar 10%. Instruksi ini dikeluarkan agar pembangkit bisa memanfaatkan harga batu bara yang dinilai masih berada pada kisaran harga yang lebih rendah sebelum kembali melonjak.
Selain itu, langkah ini juga bertujuan sebagai antisipasi menghadapi musim panas, di mana permintaan listrik untuk pendingin udara biasanya meningkat tajam di kawasan Asia, khususnya di China dan India. Dengan demikian, stok batu bara yang cukup menjadi langkah strategis untuk memastikan keamanan pasokan energi nasional mereka.
Efek Regulasi Lingkungan di China
Tak hanya karena kebutuhan energi, lonjakan harga batu bara juga dipengaruhi oleh faktor penurunan pasokan, terutama dari China. Pemerintah Tiongkok saat ini sedang melakukan inspeksi ketat terkait pengelolaan lingkungan tambang, terutama di wilayah Shanxi, salah satu pusat pertambangan batu bara terbesar di negara tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, regulator China melakukan penilaian dan inspeksi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di Shanxi, khususnya di wilayah Linfen. Inspeksi tersebut memicu penghentian sementara operasi tambang yang memasok sekitar 10,5 juta ton batu bara per tahun.
Beberapa pelaku industri melaporkan bahwa penghentian ini dijadwalkan berlangsung sementara selama sekitar 10 hari, namun dampaknya terhadap pasar sudah cukup terasa. Dengan menurunnya pasokan batu bara kokas (coking coal), harga kontrak berjangka batu bara kokas di bursa Dalian melonjak signifikan menjadi CNY 791,5 per ton atau sekitar US$ 110 per ton, dengan kenaikan 9% sejauh bulan ini.
Langkah “bersih-bersih” tambang yang dilakukan pemerintah China memang menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dengan isu keberlanjutan lingkungan. Namun, kebijakan ini secara langsung turut mengurangi pasokan batu bara dalam jangka pendek dan memberi tekanan kenaikan harga di pasar global.
Dampak dari Jerman dan Krisis Energi Eropa
Sementara itu, dari kawasan Eropa, khususnya Jerman, lonjakan harga batu bara juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan energi berbasis bahan bakar fosil. Pada kuartal pertama 2025, Jerman mengalami penurunan produksi energi dari sumber terbarukan sebesar 17%, sebuah angka penurunan terbesar dalam dua tahun terakhir. Penyebab utama penurunan ini adalah tingkat angin yang rendah, yang membuat pembangkit listrik tenaga angin tidak bisa beroperasi maksimal.
Sebagai langkah antisipatif, Jerman terpaksa meningkatkan kapasitas energi dari pembangkit listrik berbasis batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi nasionalnya. Kebijakan ini, meski dianggap berlawanan dengan komitmen transisi energi hijau, menjadi langkah realistis di tengah kondisi darurat energi yang melanda sebagian besar negara Eropa sejak 2022.
Kebutuhan Jerman akan batu bara tentu semakin memperkuat permintaan global atas komoditas tersebut, mendorong harga untuk terus bergerak naik.
Prospek Harga Batu Bara ke Depan
Melihat perkembangan saat ini, harga batu bara berpotensi melanjutkan tren penguatan, terutama jika permintaan dari negara-negara besar terus meningkat. Di sisi lain, jika kebijakan penghentian tambang di China berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan, potensi kekurangan pasokan bisa terjadi, yang pada akhirnya akan mempercepat kenaikan harga di pasar internasional.
Futures batu bara kokas di China diprediksi masih akan berfluktuasi dengan kecenderungan naik hingga penghentian tambang di Shanxi benar-benar dinormalisasi. Selain itu, jika Eropa mengalami musim panas yang lebih panjang dengan produksi energi terbarukan yang belum stabil, maka permintaan tambahan dari kawasan tersebut akan menambah tekanan terhadap pasokan global.
Secara keseluruhan, reli harga batu bara saat ini menandai kembalinya perhatian investor terhadap komoditas energi fosil setelah beberapa bulan sebelumnya sempat terkoreksi. Sentimen bullish terhadap batu bara diperkirakan masih akan berlanjut dalam jangka pendek hingga menengah.
Harga batu bara global kembali mencatatkan performa impresif, mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir pada perdagangan 19 Juni 2025. Kenaikan harga yang berkelanjutan didorong oleh kombinasi antara lonjakan permintaan dari negara konsumen utama seperti China dan India, pengurangan pasokan akibat regulasi lingkungan di China, serta peningkatan kebutuhan energi fosil dari Jerman akibat rendahnya produksi energi terbarukan.
Dengan dinamika tersebut, pasar batu bara global saat ini berada dalam posisi yang sangat sensitif terhadap perkembangan geopolitik, regulasi lingkungan, serta fluktuasi pasokan dan permintaan energi global. Para pelaku industri energi maupun investor di pasar komoditas perlu terus memantau perkembangan situasi ini agar dapat mengantisipasi fluktuasi harga yang masih mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Jika tren kenaikan ini berlanjut, bukan tidak mungkin harga batu bara bisa kembali mendekati level tertinggi tahunan yang sempat terjadi pada awal 2025.