Tarif dan Aturan Penyeberangan Perlu Dibenahi, Kata BHS

Selasa, 22 Juli 2025 | 08:02:09 WIB
Tarif dan Aturan Penyeberangan Perlu Dibenahi, Kata BHS

JAKARTA - Pasca insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, isu keselamatan dalam layanan angkutan penyeberangan kembali menjadi sorotan tajam. Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menilai perlunya perbaikan menyeluruh dalam sistem transportasi laut, mulai dari tarif, regulasi tiket, hingga penanganan kecelakaan.

BHS menegaskan bahwa aspek keselamatan pelayaran tidak bisa dilepaskan dari kesiapan operator dan dukungan regulasi yang tepat. Salah satu hal mendesak yang ia sampaikan adalah kebutuhan untuk menyesuaikan tarif penyeberangan. Menurutnya, tarif yang berlaku saat ini tidak lagi relevan karena tidak mampu mengimbangi biaya operasional dan standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh perusahaan pelayaran.

“Penyesuaian tarif penting untuk menunjang operasional perusahaan pelayaran dalam memenuhi standarisasi keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan pelayanan minimum bagi kapal-kapal penyeberangan yang saat ini sudah tertinggal lebih dari 38% berdasarkan perhitungan pemerintah (Kementerian Perhubungan, Kementerian Menko Marvest), YLKI dan asosiasi Gapasdap pada tahun 2019 yang lalu,” papar BHS.

Tarif yang tidak mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan dianggap menjadi penghambat dalam pembaruan armada dan perbaikan pelayanan. BHS menilai hal ini berdampak langsung pada kualitas layanan dan keamanan pengguna jasa.

Tak hanya bicara soal tarif, BHS juga memberi perhatian serius terhadap aturan sistem tiket yang berlaku saat ini. Ia menyebut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 58 Tahun 2003, yang tidak mewajibkan seluruh penumpang kendaraan dan pengemudi untuk membeli tiket, sebagai penyebab utama kekacauan data manifest dalam kecelakaan laut.

“Saat ini sesuai aturan KM 58 tahun 2003 tidak diberlakukan, harus segera diubah dengan aturan baru yang mewajibkan penumpang kendaraan dan pengemudi harus bertiket agar manifest tidak rancu seperti saat kejadian di tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali,” tegasnya saat melakukan kunjungan ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.

BHS menilai keakuratan data manifest sangat penting untuk mempercepat proses evakuasi dan identifikasi korban dalam situasi darurat. Maka dari itu, pembaruan regulasi sangat diperlukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan keselamatan saat ini.

Selain itu, ia juga menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem tanggap darurat kecelakaan laut. Menurutnya, semua pihak yang terkait dalam sistem transportasi laut harus turut bertanggung jawab—tidak hanya operator kapal, tetapi juga regulator, fasilitator, konsumen, dan pihak penyelamat.

Ia menyayangkan bahwa dalam tragedi KMP Tunu Pratama Jaya, sebagian besar proses penyelamatan justru dilakukan oleh masyarakat, khususnya nelayan lokal.

“Tentu ini ditentukan oleh SDM dan peralatan yang cukup agar garda terakhir penyelamatan bisa dilakukan dan pemerintah hadir di situ, tidak seperti penyelamatan KMP Tunu Pratama Jaya yang hampir 95% dilakukan oleh para nelayan. Ada 16 nelayan yang telah saya berikan apresiasi dan penghargaan, karena telah menemukan 26 korban baik yang hidup maupun meninggal dunia,” ujar alumni Teknik Perkapalan ITS itu.

Sebagai bagian dari upaya sistemik, peningkatan infrastruktur pelabuhan juga menjadi perhatian BHS. Ia menyebut pentingnya dermaga dengan pelindung ombak (breakwater) untuk menjaga kapal dari gangguan arus laut. Tak hanya itu, ia menekankan pentingnya ketersediaan peralatan pengukur berat kendaraan yang akurat guna memastikan distribusi beban yang seimbang saat pelayaran.

“Jika kapal kelebihan muatan atau distribusi berat tidak sesuai, risiko kecelakaan menjadi jauh lebih tinggi. Maka dari itu, pelabuhan harus dilengkapi dengan fasilitas dan teknologi yang mumpuni,” tambahnya.

Selain penyesuaian tarif dan pembaruan aturan manifest, kampanye keselamatan publik juga didorong oleh BHS. Ia meminta Kementerian Perhubungan agar menggencarkan edukasi keselamatan pelayaran kepada masyarakat luas.

Menurutnya, regulasi terkait keselamatan kapal penyeberangan sebenarnya sudah sangat lengkap. Beberapa di antaranya bahkan mengacu pada standar internasional seperti SOLAS (Safety of Life at Sea) dan ISM Code (International Safety Management Code). Namun, tanpa pemahaman publik yang baik, regulasi ini akan sulit diterapkan secara efektif di lapangan.

“Pemerintah harus hadir, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tapi juga lewat edukasi yang menjangkau masyarakat,” ungkapnya.

Melalui seluruh pernyataannya, BHS berharap agar momentum pasca-kecelakaan ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mempercepat reformasi sistem pelayaran dan angkutan penyeberangan di Indonesia. Mulai dari kebijakan tarif, peraturan tiket, fasilitas pelabuhan, hingga manajemen darurat dan kampanye keselamatan, semuanya harus dikelola dengan standar tinggi untuk mencegah jatuhnya korban di masa depan.

Terkini