Munas NU 2025: Penegasan tentang Kepemilikan Laut, Negara Dilarang Terbitkan Sertifikat Hak Milik

Sabtu, 08 Februari 2025 | 16:37:02 WIB
Munas NU 2025: Penegasan tentang Kepemilikan Laut, Negara Dilarang Terbitkan Sertifikat Hak Milik

JAKARTA - Dalam perhelatan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang diadakan di Hotel Sultan, Jakarta, sebuah keputusan penting mengenai kepemilikan laut disahkan. Hasil dari Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah ini menegaskan bahwa laut tidak boleh menjadi properti individu maupun korporasi. Dalam konteks ini, negara dan aparatur pemerintahannya dilarang menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) untuk kawasan laut.

Keputusan Munas NU 2025: Melindungi Laut dari Kepemilikan Pribadi

Keputusan ini lahir dari kekhawatiran terhadap praktik-praktik yang dapat membatasi akses publik terhadap sumber daya laut. Menurut KH Muhammad Cholil Nafis, Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, tindakan mengkapling laut untuk kepemilikan pribadi atau korporasi merupakan langkah yang keliru dan bertentangan dengan prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.

"Kita dalam deskripsi masalahnya, laut dikapling sebagai kepemilikan individu ataupun korporasi itu bisa jadi hak milik atau tidak?" ujar KH Muhammad Cholil Nafis dalam sesi Sidang Pleno. "Nah, jawabannya adalah laut tidak bisa dimiliki oleh individu ataupun korporasi."

Pandangan NU: Laut sebagai Milik Bersama

Pandangan NU mengenai laut sebagai milik bersama bukanlah hal baru. Namun, diskusi kali ini membawa kejelasan mengenai bagaimana negara harus bertindak dalam pengelolaan dan hak kepemilikan laut. Keputusan ini menegaskan peran negara sebagai pengelola sumber daya demi kepentingan publik, bukan sebagai pemberi hak privat atas aset yang sejatinya milik bersama.

Dijelaskan bahwa pembatasan ini diperlukan untuk menghindari kesenjangan sosial serta kerusakan ekosistem laut yang semakin parah jika kepentingan bisnis dinilai lebih tinggi daripada keberlanjutan lingkungan.

Laut dan Hukum Agraria di Indonesia

Secara umum, hukum agraria Indonesia saat ini memang belum sepenuhnya mengatur tentang kepemilikan laut sejelas tanah dan properti darat lainnya. Ini menimbulkan celah yang bisa dieksploitasi oleh pihak-pihak berkepentingan. Munas NU berharap agar keputusan ini menjadi salah satu dorongan kebijakan publik ke depannya, khususnya mengenai perlindungan dan pengelolaan laut dalam hukum agraria.

Implementasi dalam hukum ini pun mendapatkan dukungan dari berbagai aktivis lingkungan dan ahli hukum yang setuju bahwa perlunya penegasan hukum demi menjaga laut dari privatisasi yang tidak bertanggung jawab.

Dampak Kebijakan kepada Komunitas Pesisir

Para pelaku usaha kecil dan komunitas pesisir menjadi sorotan utama dalam keputusan ini. Mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak dari praktek kepemilikan laut oleh individu atau korporasi. Jika laut dikelola secara tidak adil, nelayan dan masyarakat pesisir akan semakin sulit mengakses sumber kehidupan mereka.

Keputusan ini bertujuan menjamin bahwa laut tetap menjadi ruang hidup yang adil untuk semua dan tidak dimonopoli oleh sedikit pihak berkepentingan. Dukungan dan strategi dari pemerintah untuk memberdayakan komunitas pesisir sangat dianjurkan untuk memastikan mereka mendapat manfaat dari kebijakan ini.

Menanti Respon Pemerintah

Setelah Munas NU 2025 menetapkan keputusan penting ini, semuanya kembali pada bagaimana pemerintah menanggapinya dalam bentuk kebijakan nyata. Diharapkan langkah ini bisa menjadi awal dari reformasi besar dalam tata kelola laut yang bijaksana dan berkeadilan sosial.

Konklusi dari Munas ini jelas menunjukkan kuatnya komitmen NU dalam membela keadilan sosial dan melestarikan sumber daya alam Indonesia. Sejarah akan menjadi saksi, apakah langkah progresif ini akan diadopsi oleh pemerintah dalam kebijakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Terkini