Jakarta - DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) pada 4 Februari 2025, yang menandakan dimulainya era baru dalam pengelolaan aset negara. Langkah ini disambut baik oleh berbagai kalangan sebagai upaya untuk mendorong profesionalisme dan daya saing BUMN di tengah perubahan ekonomi nasional. Salah satu tokoh yang memberikan pandangannya adalah Aditya Hera Nurmoko, seorang ekonom dari STIE YKP Yogyakarta.
"Revisi ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun BUMN yang lebih profesional, transparan, dan berorientasi pada kinerja jangka panjang," kata Aditya ketika dihubungi pada Kamis, 6 Februari 2025. Menurutnya, pemisahan fungsi regulasi dan operator dalam RUU ini merupakan langkah signifikan untuk meningkatkan efisiensi serta menghindari konflik kepentingan di dalam BUMN.
Salah satu fitur utama dari RUU ini adalah pembentukan Badan Pengelola Danantara (BP Danantara), yang diberi mandat untuk mengelola aset BUMN secara lebih efektif. Menurut Aditya, BP Danantara akan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa aset-aset negara digunakan secara optimal dan memberikan kontribusi maksimal bagi perekonomian.
"Keberadaan BP Danantara dapat meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan aset BUMN, sehingga tidak hanya menjadi beban, tetapi justru menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," jelas Aditya.
Dari sudut pandang lain, ekonom Josua Pardede menyoroti BP Danantara sebagai superholding yang dirancang untuk mengoptimalkan pengelolaan aset kekayaan negara dengan lebih efisien. Dengan total aset awal yang akan dikelola mencapai Rp 9.085 triliun (sekitar US$ 605 miliar), peran BP Danantara diharapkan dapat mendukung pembiayaan proyek strategis pemerintah yang berada di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Indonesia masih menghadapi tantangan fiskal dan defisit APBN. Maka, keberadaan Danantara sebagai alternatif pendanaan bagi pembangunan nasional sangat dibutuhkan. Indonesia perlu pengelola aset negara yang sebanding dengan Temasek di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia untuk meningkatkan daya saing ekonomi," ujar Josua.
BP Danantara diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam jangka pendek dengan mengelola aset dari Indonesia Investment Authority (INA) dan tujuh BUMN besar, yaitu Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan MIND ID. Selain itu, dengan model yang serupa dengan Temasek, BP Danantara berpotensi menarik lebih banyak investor strategis global. Sebagai penyedia jalur pendanaan alternatif, badan ini juga siap membantu proyek-proyek strategis pemerintah seperti hilirisasi industri dan pembangunan infrastruktur.
Namun, Josua juga mengingatkan adanya potensi hambatan. Dalam jangka pendek, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan tata kelola yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan aset negara dan intervensi politik yang berlebihan. "Diperlukan mekanisme yang memastikan bahwa Danantara tetap independen dari intervensi politik berlebihan," tambah Josua. Selain itu, jika pengelolaan aset BUMN tidak optimal, bisa saja nilai perusahaan negara tergerus.
Secara keseluruhan, keberadaan BP Danantara sangat mendesak, utamanya untuk mempercepat investasi dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan aset negara. Meskipun peluang untuk menarik investasi asing dan mendukung proyek pemerintah tergolong besar, tantangan utama yang dihadapi adalah masalah tata kelola dan perlu adanya payung hukum yang jelas sebelum operasi dimulai.
Dengan pengesahan RUU BUMN ini, optimisme terhadap masa depan BUMN di Indonesia menjadi lebih tinggi. Regulasi baru diharapkan mampu menghadirkan perubahan-perubahan nyata yang bermanfaat bagi peningkatan kompetensi dan daya saing sektor-sektor strategis tanah air. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada pelaksanaan kebijakan yang diatur dalam RUU, serta sinergi efektif antara pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.