JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memperpanjang kebijakan relaksasi pembelian kembali saham (buyback) tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hingga enam bulan ke depan. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap dinamika pasar modal yang menunjukkan fluktuasi signifikan, serta guna menjaga kepercayaan investor terhadap emiten di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Perpanjangan masa berlaku kebijakan ini diumumkan langsung oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK yang digelar pada Senin, 14 April 2025. Menurut Mahendra, relaksasi ini merujuk pada ketentuan Pasal 2 huruf g dan Pasal 7 Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2023.
“Penetapan kondisi pasar yang fluktuatif ini berlaku hingga enam bulan, terhitung sejak 18 Maret 2025. Kebijakan ini kami ambil sebagai langkah antisipatif dan akomodatif agar pelaku pasar dapat menjaga stabilitas harga saham tanpa harus menunggu proses RUPS,” ujar Mahendra.
Kebijakan Buyback Tanpa RUPS Dorong Stabilitas Harga Saham
Langkah buyback saham tanpa RUPS dipandang sebagai solusi praktis yang memberikan ruang manuver kepada perusahaan terbuka dalam merespons dinamika harga saham di pasar. Dengan demikian, emiten dapat segera melakukan pembelian kembali sahamnya sebagai bentuk stabilisasi harga, terutama saat tekanan pasar meningkat.
Buyback saham selama ini juga dikenal sebagai strategi yang mampu meningkatkan kepercayaan investor, menstabilkan nilai kapitalisasi pasar perusahaan, serta menunjukkan komitmen emiten terhadap prospek bisnis jangka panjang.
“Ini merupakan bentuk relaksasi untuk mendukung langkah cepat dari perusahaan tercatat dalam mengendalikan volatilitas harga saham, sehingga menciptakan stabilitas dan sentimen positif di pasar modal,” imbuh Mahendra.
19 Emiten Siap Manfaatkan Relaksasi Buyback, Rp14,86 Triliun Disiapkan
Data per 8 April 2025 mencatat, sebanyak 19 emiten telah menyampaikan rencana memanfaatkan kebijakan buyback tanpa RUPS dalam periode relaksasi yang berlaku antara Maret hingga Juli 2025. Total dana yang disiapkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut mencapai Rp14,86 triliun.
Dari jumlah tersebut, delapan emiten tercatat sudah merealisasikan aksi buyback dengan nilai total Rp309,71 miliar.
“Kami terus memantau perkembangan aksi buyback ini untuk memastikan pelaksanaannya berjalan sesuai ketentuan dan memberikan dampak positif terhadap stabilitas harga saham serta kepercayaan pasar,” jelas Mahendra.
Langkah proaktif ini sejalan dengan komitmen OJK dalam menjaga keberlanjutan sektor jasa keuangan, sekaligus memberi sinyal bahwa regulator sigap dalam merespons volatilitas pasar yang tak menentu.
OJK Tunda Short Selling, Jaga Psikologis Pasar
Selain relaksasi buyback, OJK juga mengambil kebijakan untuk menunda penerapan pembiayaan transaksi short selling oleh perusahaan efek selama enam bulan ke depan. Penundaan ini ditujukan untuk menghindari potensi tekanan tambahan di pasar modal akibat praktik penjualan saham secara spekulatif.
Short selling, meski legal dan bermanfaat untuk efisiensi harga pasar, juga dapat memicu aksi jual besar-besaran di tengah sentimen negatif, sehingga dinilai kurang tepat untuk diberlakukan saat ini.
“Kami menilai saat ini belum tepat untuk membuka ruang short selling secara masif, karena situasi pasar masih sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berisiko memicu gejolak,” ujar Mahendra.
Tanggapan terhadap Tarif Resiprokal AS: OJK Dukung Langkah Pemerintah
Lebih lanjut, OJK juga menanggapi dinamika global yang berkembang, khususnya terkait kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, OJK menyatakan dukungan terhadap langkah strategis pemerintah dalam meredam dampak kebijakan tersebut terhadap ekonomi nasional.
“OJK akan terus bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait untuk merumuskan serta menetapkan kebijakan strategis yang dibutuhkan, termasuk bagi industri-industri yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif tersebut,” tegas Mahendra.
OJK menyadari pentingnya menjaga daya saing industri nasional, terutama sektor ekspor dan manufaktur, yang berpotensi terdampak langsung oleh kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan menjadi prioritas utama guna memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional.
Penguatan Mekanisme Proteksi Pasar Saham Indonesia
Sebagai langkah penguatan mekanisme proteksi terhadap pasar modal domestik, OJK juga melakukan pengaturan ulang terhadap batasan trading halt dan penyesuaian batasan auto rejection bawah melalui koordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak 7 April 2025.
Langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi tekanan di pasar saham global dan regional pasca pengumuman tarif baru dari AS yang berdampak terhadap indeks saham di berbagai negara.
“Penyesuaian ini merupakan bagian dari sistem proteksi untuk mencegah kepanikan investor dalam menghadapi penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) secara mendadak,” kata Mahendra.
Langkah Komprehensif Jaga Stabilitas Keuangan Nasional
Sejumlah kebijakan yang diterapkan OJK saat ini—mulai dari relaksasi buyback tanpa RUPS, penundaan short selling, penyesuaian trading halt dan auto rejection, hingga koordinasi intensif dengan stakeholder—merupakan bentuk pendekatan komprehensif dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan nasional dari tekanan eksternal.
Dengan semakin banyak emiten yang memanfaatkan kebijakan ini dan dukungan infrastruktur regulasi yang adaptif, pasar modal Indonesia diharapkan tetap atraktif dan tangguh dalam menghadapi tantangan global.
OJK juga memastikan bahwa pengawasan akan terus diperketat terhadap setiap aksi korporasi yang dilakukan emiten, guna menjamin transparansi, kepatuhan terhadap aturan, dan perlindungan investor.