Transformasi Limbah Organik Menjadi Energi: Solusi Hijau lewat Biomassa

Senin, 21 April 2025 | 12:08:28 WIB
Transformasi Limbah Organik Menjadi Energi: Solusi Hijau lewat Biomassa

JAKARTA – Energi ramah lingkungan kini menjadi fokus utama dunia dalam menjawab tantangan krisis energi global dan pemanasan iklim. Salah satu solusi yang semakin digiatkan adalah pemanfaatan biomassa, yaitu bahan biologis hidup atau baru mati, sebagai sumber energi alternatif yang berkelanjutan.

Sebelum dominasi energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara, manusia telah mengandalkan biomassa untuk memenuhi kebutuhan energinya. Kayu bakar dan kotoran hewan menjadi sumber panas utama, terutama di masyarakat tradisional. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan meningkatnya kebutuhan energi, penggunaan biomassa perlahan tergeser. Kini, di tengah ancaman menipisnya cadangan energi fosil, biomassa kembali dipertimbangkan sebagai sumber energi masa depan.

Biomassa: Energi dari Alam yang Dapat Diperbarui

Biomassa dapat dimanfaatkan secara langsung maupun melalui proses pengolahan menjadi bahan bakar seperti biogas dan biodiesel. Contohnya, kelapa sawit diolah menjadi biodiesel yang mampu meningkatkan efisiensi mesin dan ramah lingkungan. Kandungan asetan tinggi serta bebas sulfur membuatnya mampu beroperasi bahkan di suhu ekstrem hingga minus 20 derajat Celcius.

“Biomassa sudah digunakan selama ratusan tahun. Tapi dulu produk biomassa tidak diangkut dengan truk atau pesawat sampai tempat tujuan. Sekam gandum atau sisa tanaman lainnya digunakan di pertanian yang sama sehingga membentuk lingkaran yang tertutup,” jelas Dr. Andre Baumann, ahli biologi sekaligus Ketua Organisasi Lingkungan Hidup Jerman NABU.

Namun, pemanfaatan biomassa dalam skala industri menghadirkan tantangan baru. Proses distribusi, pengolahan dan kebutuhan bahan baku dalam jumlah besar menimbulkan konsekuensi lingkungan, terutama jika tidak dikelola secara berkelanjutan.

Dampak Ekonomi: Biomassa Versus Ketahanan Pangan

Beberapa tanaman pangan seperti gandum, jagung, dan tebu, saat ini juga dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa. Ini menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya ketahanan pangan, terutama jika lahan pertanian dialihkan dari produksi pangan ke produksi energi.

“Ini memicu persaingan antar petani yang menanam gandum untuk pangan dan petani biomassa. Selama ini, produsen gandum untuk biomassa mendapat keuntungan lebih besar daripada petani biasa,” ujar Baumann. “Baru belakangan ini, dengan naiknya harga untuk susu dan gandum, petani biasa dapat bersaing dengan petani biomassa.”

Data menunjukkan, 100 kilogram gandum di Jerman yang dijadikan energi biomassa dapat menghasilkan nilai hingga 25 Euro, sementara jika dijual sebagai bahan pangan, harganya hanya 18 Euro. Ketimpangan ini menyebabkan banyak petani tergiur untuk beralih ke produksi tanaman energi, sehingga mempersempit suplai pangan global.

Dampak Lingkungan di Negara Berkembang

Kerusakan lingkungan menjadi konsekuensi serius dari ekspansi biomassa, terutama di negara-negara penghasil bahan baku seperti Indonesia dan negara-negara Afrika. Di Afrika, masyarakat masih banyak menggunakan kayu bakar untuk memasak, yang menyebabkan deforestasi masif dan degradasi lahan.

“Dampak negatifnya adalah kerusakan kawasan hutan karena penebangan yang tidak terkontrol. Hilangnya vegetasi hutan menyebabkan pengikisan lapisan tanah yang subur,” kata Joachim Sauberborn, pakar lingkungan dari Institut Pertanian untuk Kawasan Tropis dan Subtropis Universitas Hohenheim. “Akibatnya, lahan pertanian pun makin berkurang.”

Untuk membuka lahan baru, masyarakat setempat terus menebangi hutan. Aktivitas ini melepas emisi karbondioksida dalam jumlah besar ke atmosfer—menambah beban gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim global.

Subsidi Energi Hijau, Tapi Mengorbankan Hutan Tropis

Di negara-negara industri seperti Jerman, pemerintah memberikan subsidi untuk produksi energi biomassa. Namun, praktik ini justru berkontribusi pada kerusakan lingkungan di negara berkembang yang memasok bahan bakunya. Salah satunya adalah kelapa sawit yang dibudidayakan di lahan bekas hutan tropis, kemudian dikirim ribuan kilometer ke Eropa.

“Pemerintah menggunakan uang pajak rakyat untuk memberi subsidi pada produk biomassa. Padahal produk itu menyebabkan rusaknya hutan tropis di bagian lain dunia,” tegas Baumann. “Ini sama sekali bukan sistem pertanian berkelanjutan. Sistem ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sosial maupun ekologis.”

Kondisi tersebut menjadi sorotan para aktivis lingkungan, karena menciptakan ketergantungan dan ketimpangan struktural dalam rantai pasok energi global. Negara pengimpor menikmati energi bersih, sementara negara penghasil menanggung kerusakan ekologis.

Dorongan Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan

Untuk menjawab tantangan tersebut, solusi yang ditawarkan adalah penerapan sistem pertanian berkelanjutan. Konsep ini menyeimbangkan antara kebutuhan produksi dengan kemampuan regenerasi alam.

“Sistem pertanian berkelanjutan berarti penebangan kayu disesuaikan dengan regenerasi hutan, jadi jumlah pohon yang ditebang sesuai dengan pohon baru yang ditanam,” jelas Baumann. Ia menekankan pentingnya meninjau ulang cara negara-negara industri bergantung pada impor hasil pertanian dari negara berkembang.

Sebagai contoh, 12,5 persen dari kebutuhan pangan Jerman berasal dari lahan pertanian di luar negeri. Produk-produk ini, mulai dari buah hingga pakan ternak, menghasilkan limbah yang sulit diolah di dalam sistem daur ulang Jerman. Di sisi lain, ekspansi pertanian di negara asalnya seringkali berasal dari konversi hutan alam menjadi lahan produksi.

Masa Depan Energi dari Biomassa

Hingga saat ini, energi dari biomassa masih menyumbang sekitar 13 persen dari total energi dunia. Namun, para ahli menyarankan agar fokus utama bukan pada peningkatan produksi biomassa, melainkan pada pengurangan konsumsi energi secara keseluruhan.

“Kunci untuk meningkatkan efisiensi energi bukan dengan memperluas produksi tanaman untuk biomassa,” kata Baumann, “Sebaliknya, penggunaan energi keseluruhanlah yang perlu dikurangi.”

Biomassa memang menawarkan potensi besar sebagai energi terbarukan, tetapi tanpa tata kelola yang cermat dan kebijakan yang berkelanjutan, upaya ini justru dapat menjadi bumerang. Dibutuhkan sinergi antara inovasi teknologi, kebijakan lingkungan, dan keadilan sosial untuk memastikan bahwa biomassa menjadi solusi, bukan sumber masalah baru.

Terkini