EBT Kunci Swasembada Energi, Pemerintah Genjot Investasi

Selasa, 01 Juli 2025 | 11:01:40 WIB
EBT Kunci Swasembada Energi, Pemerintah Genjot Investasi

JAKARTA - Upaya mewujudkan kemandirian energi nasional semakin mendesak, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik global yang memicu fluktuasi harga energi fosil. Pemerintah Indonesia melihat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sebagai pilar penting dalam mencapai swasembada energi sekaligus memperkuat ketahanan nasional.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menekankan bahwa langkah diversifikasi energi melalui EBT merupakan strategi jangka panjang yang tak hanya akan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar, tetapi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. “Kami ingin Indonesia mampu memanfaatkan potensi besar EBT, baik dari tenaga surya, angin, air, maupun bioenergi untuk mendukung ketahanan energi,” ujar Arifin.

Menurut data Kementerian ESDM, potensi EBT nasional mencapai lebih dari 3.600 gigawatt (GW), namun hingga 2025 baru sekitar 13,1 GW yang berhasil dimanfaatkan. Angka ini menunjukkan masih luasnya ruang investasi yang bisa digarap. Pemerintah, lanjut Arifin, terus membuka peluang bagi investor dalam dan luar negeri untuk mengembangkan proyek EBT melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta insentif fiskal.

Tantangan Kebijakan dan Pendanaan

Meski demikian, pengembangan EBT di tanah air belum lepas dari sejumlah tantangan, seperti kepastian regulasi, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan skema pembiayaan yang kompetitif. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai, kejelasan kebijakan harga jual listrik EBT menjadi kunci untuk menarik minat investor. “Tanpa kepastian soal tarif, pelaku usaha akan kesulitan menghitung kelayakan proyek,” ujarnya.

Surya menambahkan, pemerintah perlu segera merealisasikan peraturan turunan dari Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (UU EBT) yang telah disahkan. Kehadiran regulasi teknis diyakini bisa memperjelas hak dan kewajiban semua pihak, termasuk pembagian risiko investasi.

Selain regulasi, isu pendanaan juga menjadi sorotan. Direktur Utama PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) Reynaldi Hermansyah menyebut, pengembangan proyek EBT kerap menghadapi tantangan dalam hal tenor pinjaman yang lebih panjang dibandingkan proyek energi fosil. “Investasi EBT rata-rata membutuhkan waktu balik modal yang lama, sehingga perlu dukungan pembiayaan jangka panjang dengan bunga kompetitif,” paparnya.

Strategi Pemerintah Pacu Investasi

Guna mempercepat pengembangan EBT, pemerintah saat ini tengah memfinalisasi revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang mengatur tentang percepatan pembangunan pembangkit EBT. Salah satu poin pentingnya adalah penyesuaian formula tarif listrik EBT yang lebih menarik bagi investor, termasuk mekanisme Feed-in Tariff.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan pengembangan kawasan industri hijau berbasis EBT di beberapa daerah potensial seperti Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Kawasan ini akan menjadi model pemanfaatan EBT untuk mendukung aktivitas industri dan menciptakan ekosistem hijau di tingkat daerah.

“Target kami adalah menambah kapasitas pembangkit EBT hingga mencapai 20 GW pada 2030. Ini langkah besar untuk mendukung target Net Zero Emission pada 2060,” tegas Arifin.

Peran Swasta dan Sektor Perbankan

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan bahwa pengusaha nasional siap berkolaborasi dengan pemerintah dalam mengejar target EBT, asalkan ada kepastian kebijakan. Arsjad menilai, kepastian hukum dan insentif pajak seperti tax holiday atau tax allowance akan menjadi stimulus bagi investor domestik.

Sementara itu, perbankan nasional juga mulai melirik pembiayaan proyek hijau. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar mengungkapkan, BNI telah menyalurkan pembiayaan hijau senilai lebih dari Rp30 triliun pada semester I-2025. “Kami mendukung penuh agenda transisi energi, termasuk proyek-proyek EBT, melalui skema green financing,” ucap Royke.

Mendorong Partisipasi Masyarakat

Selain skala besar, pemerintah juga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan EBT secara mandiri, misalnya melalui program PLTS Atap. Data Kementerian ESDM menunjukkan, hingga Juni 2025 telah terpasang lebih dari 150 MW PLTS Atap di rumah tangga, perkantoran, dan pabrik. Potensi penghematan energi dari PLTS Atap ini mencapai 200 GWh per tahun.

Arifin menegaskan, partisipasi masyarakat menjadi salah satu pilar penting dalam mempercepat transisi energi. “Dengan banyaknya rumah tangga dan pelaku usaha yang memasang PLTS Atap, kita bisa bersama-sama mengurangi emisi dan menghemat biaya listrik,” ujarnya.

Melalui kombinasi strategi regulasi, pendanaan, serta pelibatan swasta dan masyarakat, pemerintah optimistis target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 bisa dicapai. Namun, kerja sama lintas sektor tetap diperlukan agar Indonesia benar-benar mandiri secara energi, sekaligus mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan.

Terkini