JAKARTA - Kasus seorang anak yang kritis akibat gigitan ular berbisa di Kabupaten Pekalongan belum lama ini kembali menyoroti minimnya pemahaman masyarakat tentang penanganan pertama yang tepat pada korban gigitan ular. Padahal, langkah awal ini sangat menentukan keselamatan korban.
Dokter spesialis toksikologi, Dr. dr. Tri Maharani, menegaskan bahwa upaya penyelamatan nyawa korban tidak cukup hanya mengandalkan fasilitas rumah sakit. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai penanganan pertama justru menjadi kunci utama untuk menekan risiko kematian akibat gigitan ular.
“Masalah terbesar kita bukan cuma ularnya, tapi pemahaman masyarakat yang masih keliru soal penanganan pertama,” ujarnya saat memberikan keterangan usai meninjau RSUD Kajen.
Masyarakat Masih Sering Lakukan Cara Salah
Menurut dr Tri, praktik-praktik lama seperti mengikat anggota tubuh yang tergigit, menyedot luka dengan mulut, hingga mengoleskan ramuan tradisional, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga berbahaya karena justru mempercepat penyebaran racun ke seluruh tubuh korban.
“First aid yang benar adalah imobilisasi, yaitu membuat bagian tubuh yang tergigit tidak bergerak sama sekali,” tegasnya.
Imobilisasi ini dilakukan dengan menyangga anggota tubuh yang tergigit agar tetap stabil dan tidak banyak bergerak, sehingga racun tidak cepat menyebar melalui aliran darah ke organ vital.
Perubahan Iklim Picu Meningkatnya Kasus
Selain pemahaman yang masih keliru, dr Tri juga menyoroti faktor perubahan iklim yang turut meningkatkan risiko konflik antara manusia dengan ular. Ia menjelaskan, seharusnya musim kemarau terjadi pada pertengahan tahun, tetapi hujan yang turun menyebabkan ular keluar dari habitat aslinya dan masuk ke permukiman warga.
“Musim hujan di tengah tahun, seharusnya musim kemarau menyebabkan ular keluar dari habitatnya dan masuk ke lingkungan warga,” ungkapnya.
Fenomena ini membuat masyarakat, terutama yang tinggal di daerah dengan risiko tinggi, harus lebih waspada.
Distribusi Antivenom dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Sebagai langkah cepat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Dinas Kesehatan telah mendistribusikan 19 vial antibisa ular (antivenom) ke RSUD Kajen dan sejumlah fasilitas kesehatan lainnya. Bantuan tersebut dikirim dari berbagai daerah, termasuk Sulawesi, Bali, DKI Jakarta, hingga stok hibah Kemenkes sendiri.
Tak hanya itu, Kemenkes juga menyelenggarakan pelatihan khusus bagi tenaga kesehatan puskesmas dan rumah sakit. Materi pelatihan meliputi tatalaksana medis gigitan ular sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Selama ini, topik ini hanya dibahas sedikit di kurikulum kedokteran maupun keperawatan. Makanya, kami buatkan pedoman resmi dan langsung latih petugas puskesmas dan rumah sakit,” jelas dr Tri.
Belum Bisa Pastikan Jenis Ular
Sementara itu, hingga saat ini belum dapat dipastikan spesies ular yang menggigit korban di Pekalongan. Hal ini disebabkan tidak adanya bukti berupa foto atau spesimen ular yang menggigit. Namun, berdasarkan gejala yang dialami pasien, dokter menduga gigitan tersebut berasal dari ular dengan bisa neurotoksin yang berdampak pada sistem saraf.
Gejala efek neurotoksin ini antara lain kesulitan bernapas, kesadaran menurun, hingga kelumpuhan otot, yang semuanya membutuhkan penanganan medis segera.
Edukasi Pencegahan Lebih Penting
Selain pengobatan, dr Tri juga menekankan pentingnya langkah-langkah pencegahan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan ular. Salah satunya dengan menggunakan kelambu saat tidur di lantai.
“Selain pengobatan, aspek pencegahan juga ditekankan. Jangan tidur di lantai tanpa kelambu, apalagi di daerah yang rawan ular. Kelambu bukan cuma untuk nyamuk, tapi juga mencegah hewan berbisa masuk,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, menutup lubang-lubang di sekitar rumah, dan menghindari menumpuk barang yang bisa menjadi tempat persembunyian ular.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Keselamatan
Upaya menghadapi kasus gigitan ular berbisa tidak bisa berjalan sendiri. Butuh kerja sama lintas sektor, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Edukasi berkelanjutan diharapkan bisa mengubah kebiasaan salah yang masih banyak dilakukan saat menghadapi gigitan ular.
Dengan demikian, risiko kematian atau kecacatan akibat keterlambatan atau kesalahan penanganan bisa ditekan.
“Warga diimbau untuk segera mencari pertolongan medis jika mengalami gigitan ular dan tidak menggunakan metode tradisional yang tidak teruji,” tutup dr Tri.