JAKARTA - Target ambisius pemerintah untuk mewujudkan swasembada gula pada 2026 dinilai menghadapi tantangan serius di tingkat petani. Sekilas, kebijakan ini terdengar optimistis karena bertujuan memenuhi seluruh kebutuhan gula nasional tanpa impor, namun kenyataan di lapangan menunjukkan masalah yang menghambat penyerapan hasil produksi petani.
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sunardi Edy Sukamto mengungkapkan bahwa setiap kali musim panen tiba, gula yang dihasilkan petani justru jarang terserap maksimal. “Setiap musim panen, gula ini jarang terserap karena ada kenakalan. Gula rafinasi yang notabene hanya untuk industri makanan dan minuman, kini sudah beredar juga di ritel. Itu temuan kami di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tak hanya gula rafinasi, vitamin juga beredar,” kata Sunardi saat ditemui dalam Sarasehan Kemitraan Gula Nasional di Jakarta.
Sunardi menilai, kehadiran gula rafinasi di pasar ritel ini merusak harga dan mengancam petani. Pasalnya, gula rafinasi lebih murah dibandingkan Gula Kristal Putih (GKP) yang diproduksi petani. “Jadi pasar kita direbut,” ujarnya.
Kondisi ini membuat petani semakin kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang layak. Padahal, pada musim panen, produksi gula melimpah. Tetapi akibat peredaran gula rafinasi yang melenceng dari peruntukannya, pedagang lebih memilih membeli gula rafinasi yang murah ketimbang produk petani. Alhasil, gula petani menumpuk dan tidak laku di pasar.
Sunardi menegaskan bahwa jika pemerintah serius dengan target swasembada, maka semua aspek harus diperhatikan secara menyeluruh, mulai dari produksi di hulu hingga penyerapan di hilir. “Percuma saja produksi besar, tapi tidak terserap. Disamping itu, petani juga dihadapi dengan cuaca kemarau basah, biaya angkut yang mahal dan kesulitan lainnya,” tuturnya.
Menurutnya, tantangan tidak hanya pada peredaran gula rafinasi yang menyalahi aturan, tetapi juga faktor cuaca yang kian tak menentu. Tahun ini, petani mengalami kemarau basah yang mengganggu proses penanaman dan penebangan tebu. Selain itu, tingginya biaya transportasi untuk mengangkut tebu dari lahan ke pabrik gula semakin menambah beban.
Di sisi lain, Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan Kementerian Pertanian Baginda Siagian menjelaskan pemerintah telah merancang sejumlah program untuk mendukung target swasembada gula pada 2026. Ia menyebutkan pemerintah menargetkan produksi gula dalam negeri bisa menembus 5 juta ton.
“Beberapa program yang kita kejar antara lain intensifikasi, ekstensifikasi, penguatan ekosistem tebu rakyat, reaktivasi pabrik, dan support regulasi,” kata Baginda.
Ia menjelaskan kebutuhan pendanaan tebu rakyat selama dua tahun ke depan mencapai Rp27,1 triliun. Rincian anggaran itu antara lain: Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp19,2 triliun, bantuan untuk tebu rakyat berupa benih sebesar Rp2,3 triliun, bantuan pupuk Rp3,1 triliun, dan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) gula melalui penugasan BUMN pangan sebesar Rp2,5 triliun.
“Disamping itu, ada juga program ekstensifikasi seluas 200 ribu hektare yang bersumber dari lahan KLHK, Perhutani, dan gelebakan atau rotasi tanaman dengan dana internal PTPN/pinjaman. Dibutuhkan dukungan relaksasi atau keringanan biaya PNBP atas kewajiban pemegang izin PPKH,” urainya.
Dalam rangka memperkuat kapasitas produksi, pemerintah juga memiliki rencana reaktivasi tiga pabrik gula yang sudah lama tidak optimal. Ketiga pabrik itu berada di Bone, Sei Semayang, dan Tasikmadu, dengan pendanaan yang direncanakan bersumber dari dana internal maupun pinjaman, senilai total Rp1,05 triliun.
Baginda juga menyebut pengembangan agripreneur tebu menjadi salah satu program prioritas. Jika saat ini baru ada lima kelompok agripreneur, pemerintah menargetkan jumlahnya meningkat menjadi 50 kelompok dengan total peserta sekitar 500 orang. Program ini diharapkan mencetak generasi muda petani tebu yang mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing gula nasional.
Namun tantangan di lapangan tetap harus menjadi perhatian serius. Sunardi menekankan tanpa perbaikan sistem distribusi, pengawasan peredaran gula rafinasi, serta penanganan kendala di lapangan, target swasembada hanya akan jadi wacana.
Ia berharap forum seperti Sarasehan Kemitraan Gula Nasional dapat menjadi ruang bertukar pikiran dan menghasilkan solusi konkret. “Kalau hanya produksi banyak tanpa penyerapan, percuma saja. Petani tidak akan sejahtera, dan swasembada hanya jadi target yang tak pernah tercapai,” tandasnya.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian memang sudah menyiapkan program besar, namun realisasinya menuntut sinergi dengan pelaku usaha, asosiasi petani, hingga pengawasan distribusi gula di pasar. Tanpa itu, potensi produksi besar tidak akan sejalan dengan kesejahteraan petani, apalagi mendukung kemandirian pangan nasional.