Perusahaan Tambang dan Pulau Sangihe: Menyingkap Ancaman Emas yang Tak Pernah Padam
- Jumat, 07 Februari 2025

JAKARTA - Pulau Sangihe, permata indah di gugusan pulau Indonesia, kembali menghadapi ancaman dari eksploitasi tambang emas oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Meski sudah ada keputusan kuat dari Mahkamah Agung (MA) dan pencabutan izin produksi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (KESDM), kehadiran tambang emas ini masih belum sepenuhnya terhenti. Sosok perusahaan yang majoritas sahamnya dimiliki oleh Baru Gold, perusahaan tambang asal Kanada, tampaknya tetap ingin meneruskan rencana penambangan di pulau kecil ini.
Meski izin operasional TMS telah dibatalkan, perusahaan ini mengambil langkah inovatif dengan menjalin kemitraan baru. Pada 19 November, TMS mengumumkan penandatanganan Letter of Intent (LOI) dengan PT. Arsari Tambang (bagian dari Arsari Group) yang dimiliki oleh Hashim Djojohadikusumo, saudara dari Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto. Dalam kerjasama ini, Arsari akan mengakuisisi 10% saham TMS. "Hashim Djojohadikusumo akan bergabung dalam jajaran direksi TMS sebagai presiden komisaris," jelas pengumuman dari Baru Gold pada laman resminya.
Tindakan ini menuai kecaman dari banyak pihak, termasuk Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa dan bagian dari Koalisi Save Sangihe Island (SII). Dia mengatakan, “Seharusnya TMS tidak bisa melakukan transaksi atau kesepakatan apapun berkaitan dengan tambang emas di Sangihe.” Tindakan melanjutkan rencana penambangan ini, menurutnya, menunjukkan arogansi dan ketidakpatuhan terhadap hukum di Indonesia.
Masyarakat Sangihe telah menempuh berbagai cara elegan dalam menolak kehadiran tambang emas ini, bahkan memenangkan gugatan di pengadilan. Namun, Jull merasa kenyataan di lapangan menunjukkan hukum seolah hanya berlaku bagi masyarakat kecil. “Ini sama saja mencoreng hukum di Indonesia. Hukum hanya berlaku untuk masyarakat kecil, tidak berlaku bagi mereka. Kalau perjuangan kami tidak dihormati, berarti negara membuka ruang kepada rakyatnya untuk berlaku anarkis dalam memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka,” ujarnya dengan tegas.
Tak hanya Jull, Venesia Andimora, warga asli Sangihe, juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap rencana akuisisi saham oleh Arsari Group. Menurutnya, Sangihe seharusnya bebas dari aktivitas tambang mengingat statusnya sebagai pulau kecil dengan ekosistem yang rentan. “Kami sudah benar-benar kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan kepada negara karena seolah-olah kami yang ada di Sangihe ini tidak berarti apa-apa. Saat penguasa dan pengusaha bekerja sama seperti ini, lalu kepada siapa kami rakyat kecil ini bisa berharap?” tanya Venesia lirih.
Meski demikian, harapan tidak sepenuhnya pudar. Dini Pramita dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta Hashim Djojohadikusumo untuk tidak terlibat dalam proyek ini. Jika TMS beroperasi tanpa izin resmi, Dini memperingatkan bahwa hal itu bisa berujung pada sanksi pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar sesuai Pasal 158 UU Minerba Nomor 3/2020.
Pulau Sangihe bukan hanya tempat tinggal bagi manusia tetapi juga rumah bagi lingkungan dan satwa yang perlu dilindungi. Hutan Lindung Sahendaruman di pulau ini menjadi habitat bagi satwa langka seperti seriwang Sangihe yang sempat dianggap punah. "Konsesi TMS yang masuk ke dalam hutan ini dapat mengganggu suplai air dari sekitar 70 sungai di Sangihe," jelas Dini.
Afdillah dari Greenpeace juga menegaskan bahwa sebagai pulau kecil, Sangihe tidak seharusnya menjadi tempat penambangan. "Keputusan bekerjasama dengan TMS mencederai banyak orang, terutama warga Sangihe," tegasnya. Pulau ini, ujarnya, memiliki peran penting dalam jalur migrasi ikan dan burung, dan eksistensi tambang akan menghancurkan keanekaragaman hayati serta sumber penghidupan warga.
Kondisinya makin diperparah oleh aktivitas penangkapan ikan ilegal dan penambangan ilegal, yang terus mengancam ekosistem Sangihe. Oleh karena itu, Afdillah mendukung tindakan untuk menanggulangi illegal fishing agar masyarakat bisa kembali bergantung pada sumber daya laut untuk hidup mereka.
Di tengah semua ini, pertanyaan yang bergelantung di benak masyarakat adalah, apakah Pulau Sangihe akan selamanya terancam oleh ulah perusahaan tambang, atau akankah suara mereka akhirnya didengar, memberikan kesempatan bagi alam dan manusia untuk kembali hidup dalam harmoni? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Redaksi
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Lewat Kolaborasi Inklusif, PLN Pacu Inovasi Hidrogen untuk Lautan Bebas Emisi
- Minggu, 20 April 2025
Lewat Kolaborasi Inklusif, PLN Pacu Inovasi Hidrogen untuk Lautan Bebas Emisi
- Minggu, 20 April 2025