AS Tarik Diri dari Perjanjian Paris: Langkah Kontroversial Trump dan Implikasinya bagi Krisis Iklim
- Rabu, 05 Februari 2025

Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memutuskan untuk menarik negaranya dari Perjanjian Paris, sebuah tindakan kontroversial yang memicu kekhawatiran global terkait upaya penanggulangan krisis iklim. Langkah ini berisiko menghambat transisi energi dunia dan potensi pendanaan internasional, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Keputusan ini telah menimbulkan gelombang ketidakpastian mengenai masa depan perjuangan kolektif melawan perubahan iklim.
Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri, menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak penarikan AS dari perjanjian tersebut. "Mundurnya AS berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim," ujarnya. Novita menambahkan bahwa sikap AS ini juga dapat mempengaruhi komitmen negara itu dalam membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, melalui kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), Rabu, 5 Februari 2025.
Perjanjian Paris, yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celsius, dianggap sebagai instrumen penting dalam mengoordinasikan tindakan global untuk mengatasi krisis iklim. Dengan mundurnya AS, ada kekhawatiran bahwa ambisi kolektif ini dapat terancam. Akan tetapi, Novita melihat adanya peluang untuk menciptakan kepemimpinan iklim yang lebih kolaboratif. "Perlu dipertimbangkan kembali skema-skema kerja sama yang adil dengan negara-negara lain, termasuk negara berkembang, untuk dapat mencapai target Perjanjian Paris," paparnya.
Krisis iklim memang sudah menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari. Analisis terbaru World Resources Institute (WRI) pada 2023, mengungkap bahwa tiga negara penghasil emisi terbanyak adalah China, AS, dan India, yang bersama-sama menyumbang sekitar 42,6% dari total emisi global. Menghadapi kenyataan ini, banyak pihak khawatir bahwa keputusan Trump akan melemahkan upaya global dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Novita menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk tidak mengendurkan upaya transisi energi meskipun AS telah menarik diri dari perjanjian tersebut. "Perubahan akibat mundurnya AS tidak berarti Indonesia harus mengendorkan upaya transisi energi di tengah ancaman krisis iklim," tegasnya. Ia menyoroti bahwa pendanaan JETP sejak awal sudah buram, dengan realisasi yang belum terlihat jelas dan lebih menonjolkan skema utang yang berisiko membebani Indonesia.
Selain itu, Novita juga mengkritik pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, yang mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu terburu-buru dalam transisi energi bersamaan dengan mundurnya AS. Menurutnya, Indonesia seharusnya meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan bahwa selama Januari 2025, telah terjadi sejumlah bencana alam signifikan akibat perubahan iklim, dengan banjir sebagai bencana paling dominan. “Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia juga terancam badai, banjir, kekeringan, dan krisis pangan akibat krisis iklim. Kita justru harus semakin serius menyikapi transisi energi untuk melindungi ketahanan nasional,” ungkap Novita.
Dalam upaya mencari solusi, Novita menekankan pentingnya Indonesia mengoptimalkan sumber pendanaan transisi energi dari dalam negeri. Salah satu potensinya adalah melalui penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batubara. Pada tahun 2024, produksi batubara Indonesia mencapai lebih dari 833 juta ton dan diperkirakan akan terus meningkat.
“Menurut Sustain, potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batubara dari korporasi yang selama ini mendapatkan super normal profit dapat mencapai 23,58 miliar USD per tahunnya; ini saja sudah lebih besar dari komitmen JETP,” jelas Novita.
Di tengah ketidakpastian global ini, keputusan AS menarik diri dari Perjanjian Paris adalah pengingat akan pentingnya solidaritas dan tindakan kolektif yang kuat dalam menangani krisis lingkungan yang mengancam kehidupan manusia di seluruh penjuru dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, perlu meningkatkan komitmennya dalam transisi energi yang berkelanjutan demi melindungi masa depan generasi berikutnya.

Redaksi
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.