
JAKARTA - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen bukanlah langkah yang memberatkan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah menilai tarif PPN Indonesia masih termasuk rendah dibandingkan banyak negara lain di dunia, sehingga kebijakan ini dinilai wajar untuk mendukung penerimaan negara.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan bahwa secara global, tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif PPN di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) maupun BRICS.
“Tarif PPN di negara OECD rata-rata sebesar 19 persen, sementara rata-rata tarif di negara BRICS mencapai 17 persen. Dengan posisi PPN kita di 11 persen sebelum Januari 2025, ini menunjukkan bahwa tarif kita masih relatif rendah,” ungkap Bimo dalam Sidang Pleno Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025.
Baca JugaDatabase Agen dan Polis Asuransi Jadi Kunci Transparansi Industri
Pemerintah Dinilai Masih Punya Ruang
Menurut Bimo, posisi tarif ini membuat pemerintah masih memiliki ruang untuk melakukan penyesuaian tarif, sehingga langkah menaikkan PPN ke 12 persen pada awal 2025 dinilai logis dan tidak melampaui kewajaran secara internasional.
“Sehingga pemerintah masih memiliki ruang untuk meningkatkan tarif PPN tersebut,” ujarnya.
Optimalisasi penerimaan negara melalui PPN dinilai Bimo menjadi hal yang penting untuk memperkuat pembiayaan negara, terutama dalam mendukung program pembangunan dan berbagai belanja prioritas pemerintah.
Kenaikan PPN Tidak Berdampak pada Kebutuhan Dasar
Lebih jauh, Bimo menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan berdampak langsung pada harga kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Menurutnya, barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa transportasi umum sudah dikecualikan dari pengenaan PPN, sehingga harga layanan dan barang-barang tersebut tetap terjaga.
“Dapat pemerintah tegaskan bahwa berapapun kenaikan tarif PPN tidak akan berpengaruh langsung terhadap barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa transportasi umum yang dikonsumsi oleh masyarakat luas karena atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN,” tandas Bimo.
Alasan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Meskipun demikian, kebijakan ini menuai kritik hingga menggiring sebagian pihak untuk menggugat kenaikan tarif PPN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu fokus gugatan menyasar penetapan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam bentuk nilai lain sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024. Pihak penggugat menilai penetapan DPP nilai lain berpotensi tidak adil dan menyulitkan.
Menanggapi hal itu, Bimo menegaskan bahwa DPP nilai lain bukanlah perubahan tarif, melainkan instrumen perhitungan pajak yang diperlukan untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum. Menurutnya, DPP nilai lain hanya digunakan apabila harga jual atau penggantian tidak mencerminkan nilai transaksi yang wajar, atau sulit ditentukan.
“Dengan demikian, kebijakan pemerintah menetapkan DPP nilai lain di dalam PMK 131-2024 justru mewujudkan aspek keadilan, kepastian hukum, serta keberpihakan bagi masyarakat sehingga beban PPN yang ditanggung oleh konsumen tetap sama baik sebelum maupun sesudah kenaikan tarif 12 persen,” jelasnya.
Penjelasan Soal DPP Nilai Lain
DPP nilai lain merupakan nilai yang ditetapkan pemerintah sebagai dasar perhitungan pajak ketika transaksi tidak memiliki harga yang jelas, seperti dalam pengiriman barang promosi, pengiriman barang antar cabang perusahaan, atau penggunaan sendiri barang yang bukan untuk tujuan komersial.
“DPP nilai lain bukanlah kebijakan yang diambil secara sepihak, namun merupakan implementasi dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah lama diatur,” kata Bimo.
PPN 12 Persen Diterapkan untuk Barang Mewah
Dalam penjelasan yang sama, Bimo juga menegaskan bahwa kebijakan PMK 131 Tahun 2024 secara eksplisit mengatur penerapan tarif 12 persen secara efektif hanya untuk Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Hal ini mencakup kendaraan bermotor mewah, kapal pesiar, rumah mewah, dan produk lain yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
“PMK 131 tahun 2024 memperjelas bahwa tarif 12 persen hanya berlaku efektif untuk Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Ini termasuk kendaraan bermotor maupun non-kendaraan yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan dan dikenakan PPnBM,” ujarnya.
Dukungan Penerimaan Negara
Optimalisasi penerimaan melalui PPN dinilai penting mengingat potensi penerimaan pajak yang berpotensi tidak mencapai target pada 2025. Berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, potensi shortfall penerimaan pajak pada 2025 bisa mencapai Rp140 triliun, sehingga setiap langkah peningkatan penerimaan melalui sumber yang adil menjadi strategis untuk menutup defisit.
“Optimalisasi PPN merupakan salah satu langkah realistis untuk menjaga stabilitas penerimaan negara di tengah kebutuhan belanja yang semakin besar,” kata Bimo.
Kebijakan Tarif Dinilai Proporsional
Bimo menyebut bahwa kebijakan tarif PPN yang sekarang diterapkan sudah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk daya beli masyarakat dan kondisi perekonomian nasional.
“Setiap kebijakan fiskal, termasuk PPN, diambil dengan memperhatikan banyak variabel untuk memastikan penerimaan negara tetap optimal, sementara daya beli masyarakat tetap terlindungi,” tutup Bimo.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Kesempatan Emas Ambrosino: Striker Muda Napoli Jadi Rebutan Klub Serie A
- Selasa, 01 Juli 2025