JAKARTA - Dalam perkembangan terbaru mengenai PT Investree Radhika Jaya (Investree), sebuah perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi bahwa Investree telah menyampaikan neraca penutupan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya penyelesaian masalah menyusul pencabutan izin operasional perusahaan tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menyatakan bahwa pihaknya saat ini dalam tahapan menelaah laporan keuangan yang telah diajukan Investree. "Perusahaan telah menyampaikan neraca penutupan dan saat ini dalam proses penelaahan," ungkap Agusman dalam pernyataan resmi selama Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2025.
Proses Likuidasi oleh Tim Khusus
Agusman menjelaskan bahwa penyelesaian hak dan kewajiban Investree akan dilakukan melalui Tim Likuidasi yang telah dibentuk. Tim tersebut berfungsi untuk memastikan bahwa proses likuidasi berjalan dengan lancar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku demi melindungi kepentingan para kreditor dan pemangku kepentingan terkait.
Selanjutnya, OJK masih melanjutkan upaya pengejaran terhadap mantan CEO Investree, Adrian Asharyanto atau Adrian Gunadi, yang diduga telah meninggalkan Indonesia. Koordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait di luar negeri terus dilakukan untuk membawa Adrian Gunadi ke pengadilan.
"Upayanya, yakni melalui penerbitan red notice, berkoordinasi dengan International Criminal Police Organization (Interpol), serta otoritas terkait," kata Agusman.
Kolaborasi Penegakan Hukum
Dalam penanganan kasus ini, Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Ismail Riyadi, mengungkapkan bahwa pihaknya terus intens berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Ini bertujuan untuk melanjutkan proses penegakan hukum terkait dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang melibatkan Adrian Gunadi.
"Melalui kerja sama dengan Polri, maka telah dilakukan permohonan red notice oleh Interpol RI kepada Interpol Pusat di Lyon dan permohonan pencabutan paspor kepada Direktorat Jenderal Imigrasi," jelas Ismail.
Berdasarkan keterangan resmi dari OJK, selain Adrian, terdapat satu tersangka lain yang terlibat dalam kasus ini. OJK bersama Polri berharap kedua tersangka tersebut dapat segera dihadirkan untuk memberikan kejelasan bagi para investor Investree.
Pencabutan Izin Usaha
Ismail Riyadi juga menuturkan bahwa OJK telah mencabut izin usaha Investree lantaran tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan gagal melaksanakan rekomendasi pengawasan yang ditetapkan oleh OJK. "Sejak pencabutan izin usaha pada 23 Oktober 2024 sampai 31 Desember 2024, kami telah menerima 85 pengaduan terkait Investree," ungkap Ismail.
Pengaduan yang diterima oleh OJK beragam, tetapi pada intinya mencerminkan kekhawatiran dari para investor dan pengguna platform terhadap nasib dana mereka yang ada di Investree. Oleh karenanya, proses penyelesaian melalui tim likuidasi diharapkan mampu memberikan solusi yang efisien bagi semua pihak.
Pengawasan dan Implikasi Regulasi
Kasus Investree ini menjadi perhatian besar bagi industri fintech di Indonesia, menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang ketat dan komitmen terhadap aturan yang berlaku dalam operasional perusahaan fintech. Ini juga menjadi pelajaran bagi regulator untuk memperkuat kerangka kerja dan regulasi untuk mencegah masalah serupa di masa depan.
OJK menegaskan kembali komitmennya untuk melindungi investor dan menjaga integritas sektor jasa keuangan di Indonesia. Bagi para pemangku kepentingan, khususnya konsumen layanan fintech, kasus ini menjadi momentum penting untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih platform.
Harapan Bagi Pemulihan dan Masa Depan
Meskipun situasi Investree tampak rumit, langkah-langkah tegas yang diambil oleh OJK adalah upaya penting untuk memastikan bahwa setiap pihak bertanggung jawab melaksanakan kewajiban sesuai hukum. Dengan kolaborasi antara OJK, aparat penegak hukum, dan instansi internasional, harapannya masalah ini bisa diselesaikan secepat mungkin.
Melihat ke depan, OJK dan regulator terkait mungkin akan mempertimbangkan kebijakan yang lebih ketat dalam menyaring dan memonitor operasional perusahaan fintech, memastikan bahwa mereka tidak hanya memenuhi persyaratan minimum tetapi juga menunjukan praktik bisnis yang berkelanjutan dan aman bagi investor serta konsumen.
Semua perkembangan ini memperlihatkan betapa krusialnya penataan dan pengawasan fintech di Indonesia sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri ini. Dengan demikian, diharapkan kasus-kasus serupa dapat dicegah di masa mendatang, menjadikan pasar fintech lebih aman dan dapat dipercaya bagi semua pihak.