Optimalisasi Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Tantangan dan Harapan

Rabu, 19 Maret 2025 | 14:05:10 WIB
Optimalisasi Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Tantangan dan Harapan

JAKARTA - Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengelolaan keuangan sosial syariah. Instrumen keuangan sosial syariah seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf diyakini mampu memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Jika dikelola secara optimal, dana sosial syariah ini dapat memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam pembangunan nasional.

Zakat sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan

Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), K.H. Sholahudin Al Aiyub, M.Si menekankan bahwa keuangan sosial syariah telah menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPN) 2025-2029.

“Dana sosial syariah ini, zakat, infak, sedekah, diharapkan bisa menjadi salah satu pilar untuk pengentasan kemiskinan. Kalau kita lihat filosofi dari keuangan sosial syariah, ada asnaf atau mustahik yang sudah ditentukan. Yang paling utama adalah fukoro walmasakin, yang dalam pemerintahan kita sebut sebagai kemiskinan. Maka, kemudian ada kemiskinan dan kemiskinan ekstrem. Itu bisa diintervensi lebih kuat melalui dana sosial syariah,” ujar Sholahudin Al Aiyub.

Momentum bulan Ramadan menjadi waktu yang tepat untuk memperkuat dan mensosialisasikan ekonomi syariah, khususnya dalam aspek keuangan sosial. Meski memiliki potensi besar, pemerintah masih menghadapi tantangan dalam merealisasikan potensi tersebut.

Tantangan dalam Pengelolaan Zakat

Salah satu kendala utama dalam pengelolaan dana sosial syariah adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Banyak masyarakat masih lebih memilih untuk menyalurkan zakat secara langsung kepada penerima, daripada melalui lembaga resmi.

Potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp327 triliun per tahun. Namun, realisasi pengumpulan zakat nasional pada tahun 2023 hanya mencapai Rp32 triliun, atau sekitar 9% dari total potensi yang ada.

“KNEKS mempunyai concern yang cukup besar untuk memperkuat tata kelola BAZ ataupun LAZ sehingga kepercayaan masyarakat bisa lebih tinggi untuk membayarkan zakat, infak, dan sedekah melalui BAZ dan LAZ,” tegas Sholahudin.

Sejarah dan Perkembangan Pengelolaan Zakat

Pengelolaan zakat di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada masa penjajahan Belanda, pengelolaan zakat individu sempat dihalangi oleh pemerintah kolonial karena dianggap mendukung perlawanan rakyat. Baru setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan pengelolaan zakat, meskipun pada awalnya masih dikelola secara mandiri oleh masyarakat.

Pada era Orde Baru, perhatian terhadap zakat meningkat dengan munculnya berbagai lembaga amil zakat independen di daerah. Namun, regulasi formal baru hadir pada tahun 1999 dengan lahirnya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 Tahun 1999. Regulasi ini mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai zakat serta memperkuat institusi zakat nasional.

Implementasi lebih lanjut dilakukan melalui pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2001. Kemudian, UU Pengelolaan Zakat diperbarui menjadi UU Nomor 23 Tahun 2011 dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat. Dengan regulasi yang semakin ketat, pengelolaan zakat di Indonesia semakin berkembang.

Kinerja dan Capaian Keuangan Sosial Syariah

Pengumpulan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya terus menunjukkan peningkatan. Pada kuartal kedua tahun 2024, pengumpulan dana sosial syariah mencapai Rp26,13 triliun, meningkat 68,2% dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp15,53 triliun. Jumlah penerima manfaat dari dana tersebut telah mencapai 75,54 juta jiwa.

Capaian ini didukung oleh 711 institusi BAZNAS dan LAZ di seluruh Indonesia. Target pengumpulan zakat dan dana sosial lainnya pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp41 triliun, meskipun angka final masih dalam tahap konsolidasi pelaporan oleh BAZNAS.

Selain itu, akumulasi aset wakaf uang mencapai Rp3,02 triliun, meningkat 268% sejak peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang pada Januari 2021. Pertumbuhan ini didukung oleh penerbitan 13 seri Cash Wakaf Linked Sukuk (CWLS) dengan nilai mencapai Rp1,159 triliun atau sekitar 38% dari total aset wakaf uang.

Dalam sektor koperasi syariah, data per Desember 2023 mencatat terdapat 3.806 unit Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) dengan total aset mencapai Rp31,185 triliun.

Strategi Penguatan Keuangan Sosial Syariah

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi syariah, KNEKS tengah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2025-2029. Fokus utama pemerintah adalah memperkuat tata kelola zakat dan wakaf, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan sosial syariah.

Optimalisasi dana sosial syariah diharapkan mampu memperkuat ekosistem ekonomi syariah melalui redistribusi kekayaan, penguatan ekonomi umat, dan investasi berkelanjutan. Zakat dan wakaf juga memainkan peran penting dalam memberikan perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Wakaf produktif dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, dan program pemberdayaan berbasis aset wakaf yang memberikan manfaat jangka panjang.

Saat ini, Indonesia berada di peringkat tiga besar dalam State of The Global Islamic Economy (SGIE). Dengan berbagai potensi yang dimiliki, Direktur Eksekutif KNEKS, K.H. Sholahudin Al Aiyub berharap Indonesia bisa naik peringkat dan menjadi pemimpin dalam ekonomi syariah global.

“Kita mempunyai sumber daya alam yang kuat sekali, besar sekali di Indonesia. Ini bisa kita gunakan untuk peningkatan perekonomian nasional kita. Menjadi PR kita supaya kemanfaatannya agar bisa lebih optimal dirasakan oleh masyarakat kita,” pungkas Sholahudin.

Terkini