Perubahan Iklim Picu Krisis Air, BMKG Tawarkan Solusi Restorasi Sungai dan Pemanenan Air Hujan

Kamis, 08 Mei 2025 | 12:14:13 WIB
Perubahan Iklim Picu Krisis Air, BMKG Tawarkan Solusi Restorasi Sungai dan Pemanenan Air Hujan

JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi tantangan serius berupa krisis air dan ketahanan pangan yang diperparah oleh dampak perubahan iklim ekstrem. Dalam Talkshow Kongres Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia (GMHI) 2025, para pakar dan pejabat pemerintah menegaskan pentingnya strategi nasional yang lebih adaptif dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya air.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa Indonesia berada di titik kritis dalam menghadapi konsekuensi perubahan iklim. Kenaikan suhu global dan meningkatnya intensitas cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan telah berdampak langsung terhadap sektor-sektor vital, khususnya ketersediaan air bersih dan ketahanan pangan nasional.

“Kenaikan suhu rata-rata nasional pada 2024 tercatat sebesar 27,52°C, dengan anomali suhu tahunan mencapai +0,81°C dibandingkan periode normal. Ini menjadi indikator nyata tren pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan,” ujar Dwikorita.

Menurut data BMKG, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami suhu udara yang hampir selalu berada di atas persentil ke-95 sepanjang tahun. Situasi ini mencerminkan bahwa Indonesia tak lagi sekadar menghadapi fluktuasi musiman, melainkan telah memasuki fase cuaca ekstrem yang berdampak langsung terhadap keseimbangan ekosistem, ketersediaan air, dan produktivitas pertanian.

“Masalah utama kita saat ini adalah ketimpangan distribusi air. Saat musim hujan, air melimpah hingga menyebabkan banjir, tetapi pada musim kemarau justru kekurangan parah. Ketidakseimbangan ini menjadi tantangan besar dalam pengelolaan air nasional,” jelasnya.

Dua Solusi Strategis: Restorasi Sungai dan Pemanenan Air Hujan

Dwikorita menekankan pentingnya menerapkan dua solusi kunci untuk merespons krisis ini, yakni restorasi sungai dan pemanenan air hujan. Kedua strategi ini, menurutnya, harus dijalankan secara terintegrasi dan berbasis data ilmiah yang akurat agar dapat berfungsi optimal sebagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Restorasi sungai dapat memulihkan ekosistem yang rusak, sehingga meningkatkan kapasitas sungai dalam menampung dan menyalurkan air secara alami. Di sisi lain, pemanenan air hujan merupakan solusi jangka panjang terutama bagi daerah yang rawan kekeringan,” kata Dwikorita.

Pemanenan air hujan—yang melibatkan pengumpulan dan penyimpanan air hujan untuk keperluan domestik, irigasi, atau industri—dianggap sebagai metode yang relatif murah dan ramah lingkungan, sekaligus mengurangi tekanan terhadap sumber air permukaan yang makin terbatas.

Dalam konteks perubahan iklim yang tak terelakkan, pemanfaatan air hujan dan restorasi sungai bukan hanya menjadi opsi, tetapi menjadi keharusan strategis untuk menjamin ketersediaan air dan mendukung ketahanan pangan nasional di masa depan.

BMKG Perkuat Dukungan Data dan Sistem Peringatan Dini

Sebagai institusi negara yang bertugas menyediakan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika, BMKG memainkan peran penting dalam menyuplai data yang dibutuhkan untuk perencanaan dan implementasi restorasi sungai serta pemanenan air hujan. Dwikorita menegaskan bahwa kolaborasi antara BMKG, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta menjadi kunci sukses program ini.

“Kami menyediakan prediksi curah hujan, informasi iklim jangka panjang, dan sistem peringatan dini. Data ini sangat penting bagi perencana tata ruang, petani, dan pemangku kepentingan lain dalam mengelola air secara efisien,” ungkapnya.

BMKG juga aktif mengembangkan Sistem Informasi Hidrologi dan Hidroklimatologi untuk Wilayah Sungai (SIH3), yang dirancang untuk menyediakan informasi komprehensif mengenai kondisi iklim dan hidrologi di seluruh DAS (Daerah Aliran Sungai) di Indonesia. Melalui sistem ini, diharapkan berbagai pihak dapat memperoleh peringatan dini tentang potensi kekeringan atau banjir, serta panduan waktu yang tepat untuk menjalankan kegiatan pemanenan air hujan dan restorasi sungai.

“SIH3 akan menjadi backbone informasi bagi seluruh stakeholder untuk pengambilan keputusan berbasis data ilmiah. Ini akan sangat membantu dalam menyusun strategi mitigasi yang efektif,” kata Dwikorita menambahkan.

Tantangan Nasional dan Seruan Kolaborasi

Perubahan iklim kini menjadi tantangan lintas sektor. Tak hanya mempengaruhi sektor pertanian dan ketahanan pangan, tetapi juga mengancam ketahanan energi, infrastruktur, dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dibutuhkan tidak bisa parsial atau jangka pendek.

Dwikorita menggarisbawahi bahwa pengelolaan air di Indonesia selama ini masih terlalu bergantung pada sistem konvensional yang tidak cukup adaptif terhadap perubahan iklim. Diperlukan pergeseran paradigma ke arah sistem yang lebih tangguh, berbasis ekosistem, dan inklusif.

“Perubahan iklim bukan isu jangka pendek. Ini adalah tantangan jangka panjang yang hanya bisa diatasi dengan manajemen sumber daya air yang cerdas dan kolaboratif. Gerakan Restorasi Sungai dan Gerakan Pemanenan Air Hujan harus menjadi gerakan nasional,” tegasnya.

BMKG mengajak seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pelaku usaha, pemerintah daerah, LSM, hingga masyarakat sipil untuk berperan aktif dalam gerakan ini. Sebab, tanpa aksi kolektif, krisis air dan pangan akan semakin memperburuk kualitas hidup dan berpotensi menimbulkan instabilitas sosial ekonomi di masa depan.

Kesimpulan: Solusi Lokal untuk Tantangan Global

Talkshow GRSI dan GMHI 2025 menjadi pengingat bahwa solusi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim tidak harus selalu bersifat global dan rumit. Restorasi sungai dan pemanenan air hujan adalah dua solusi lokal yang sudah terbukti berhasil di berbagai wilayah di dunia, termasuk di beberapa daerah di Indonesia.

Namun, untuk menjadikannya efektif secara nasional, diperlukan komitmen politik, dukungan anggaran, serta keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan.

Dengan menggabungkan teknologi, pengetahuan lokal, dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, Indonesia diyakini mampu keluar dari krisis air dan ketahanan pangan. Dan seperti yang ditegaskan oleh Kepala BMKG:

“Kalau kita tidak bergerak sekarang, maka yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang hanyalah krisis. Tapi kalau kita mau bekerja sama, ada harapan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik—yang berkelanjutan, adil, dan tangguh terhadap perubahan iklim.”

Terkini