Fenomena Strava di Kalangan Pemuda: Antara Olahraga dan Pencitraan Diri

Kamis, 26 Juni 2025 | 10:03:15 WIB
Fenomena Strava di Kalangan Pemuda: Antara Olahraga dan Pencitraan Diri

JAKARTA - Di tengah kemajuan teknologi digital dan dominasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas olahraga seperti berlari dan bersepeda mengalami pergeseran makna. Tak lagi semata soal kebugaran, kini aktivitas fisik juga menjadi bagian dari strategi pencitraan diri. Hal ini terlihat dari tren penggunaan aplikasi pelacak olahraga Strava di kalangan pemuda Indonesia yang kian hari semakin berkembang.

Awalnya, Strava dirancang untuk memotivasi penggunanya menjaga kesehatan melalui pelacakan aktivitas fisik secara digital. Namun, dalam praktiknya, Strava telah menjadi alat validasi sosial yang berfungsi sebagai bukti eksistensi dan citra gaya hidup sehat di dunia maya. Setiap kilometer yang dilalui, rute yang dibentuk, dan statistik performa lari kini diunggah ke media sosial seperti Instagram, bukan hanya untuk dibagikan, tapi juga untuk mendapatkan likes, komentar, dan pengakuan.

Media Sosial dan Budaya Pencitraan
Sosiolog menilai bahwa aktivitas olahraga yang awalnya bersifat personal kini telah beralih menjadi pertunjukan sosial digital. Unggahan aktivitas fisik lengkap dengan data statistik dan dokumentasi visual dikurasi agar tampil se-estetik mungkin. Banyak anak muda juga menggunakan jasa fotografi khusus, seperti FOTOYU, yang hadir di berbagai acara lari Car Free Day (CFD), untuk mendapatkan hasil foto yang bisa dipoles menjadi video dengan musik cepat dan efek jedag-jedug.

Beberapa bahkan melakukan aksi yang kontroversial demi konten, seperti mengambil minuman dari kulkas minimarket tanpa membayar, hanya demi tampilan visual yang mendukung narasi gaya hidup sporty. Setelah pengambilan gambar selesai, minuman tersebut dikembalikan ke kulkas begitu saja. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah olahraga dilakukan demi kesehatan atau demi eksistensi digital?

Konstruksi Identitas dan Self-Branding
Menurut pendekatan interaksionisme simbolik, makna sosial terbentuk dari simbol-simbol yang digunakan dalam interaksi sosial. Dalam konteks ini, angka kilometer, rute GPS, pakaian olahraga, hingga video estetik menjadi simbol yang digunakan anak muda untuk menunjukkan identitas mereka sebagai individu modern, produktif, dan “sehat”.

“Melalui Strava, pemuda tidak hanya menunjukkan aktivitas fisiknya, tetapi juga menyampaikan pesan: ‘Saya disiplin, saya keren, dan saya layak dihargai,’” demikian penjelasan seorang pakar sosiologi gaya hidup.

Konsistensi memposting aktivitas olahraga menjadi bagian dari self-branding, di mana citra sebagai individu aktif dan positif dibentuk melalui media sosial. Hal ini menciptakan tekanan sosial terselubung: mereka yang tidak tampil di media sosial, dianggap tidak melakukan apa-apa.

Kreativitas dan Manipulasi: Antara Ekspresi Diri dan Kepalsuan
Tren ini juga mendorong munculnya praktik kreatif seperti menyusun rute GPS agar membentuk gambar tertentu – mulai dari simbol hati hingga wajah kartun. Namun di balik kreativitas ini, muncul pula praktik yang mencederai nilai kejujuran, seperti fenomena “joki Strava.” Dalam praktik ini, seseorang membayar orang lain untuk berlari atas namanya, lalu hasil lari tersebut diunggah ke akun pribadi pemilik untuk pencitraan.

Praktik ini mencerminkan sisi gelap dari budaya pencitraan digital, di mana prestasi bisa dibeli dan citra bisa direkayasa, demi validasi sosial. Hal ini mengaburkan batas antara keaslian dan kepura-puraan, serta menunjukkan betapa kuatnya tekanan untuk “terlihat baik” daripada “menjadi baik”.

Perspektif Dramaturgi: Panggung Sosial Anak Muda
Dalam perspektif dramaturgi Erving Goffman, media sosial menjadi panggung depan tempat setiap individu menampilkan versi terbaik dirinya. Anak muda berperan sebagai “aktor” yang mengenakan pakaian olahraga bermerek, berlari di lokasi populer, menyewa fotografer, dan memoles hasil kontennya seolah-olah itu cerminan hidup sehat mereka.

Namun di balik layar, atau panggung belakang, bisa jadi mereka tidak benar-benar berlari sejauh yang diklaim. Sebagian bahkan hanya datang ke CFD untuk membuat konten, tanpa benar-benar berkeringat. Ini menunjukkan bahwa aktualitas dan performa sering kali dikalahkan oleh tampilan visual.

Konsumerisme dan Tekanan Digital
Fenomena Strava juga tidak lepas dari budaya konsumerisme visual. Identitas kini dikurasi dan dipasarkan melalui media sosial. Jam tangan pintar, pakaian olahraga premium, dan konten-konten estetika menjadi alat untuk menampilkan “gaya hidup urban yang keren”. Anak muda tak lagi menjadi pelaku aktif yang reflektif, melainkan konsumen citra diri yang mereka bentuk sendiri.

Sistem algoritma media sosial memperkuat hal ini. Konten yang estetik lebih mudah viral, dan popularitas digital menjadi tolok ukur status sosial. Ini menciptakan stratifikasi sosial digital, di mana mereka yang tidak aktif memamerkan diri dianggap tertinggal.

Tekanan Psikologis dan Risiko Sosial
Tekanan untuk selalu tampil sempurna di media sosial menciptakan risiko psikologis seperti kecemasan sosial, depresi ringan, dan perasaan tidak berharga. Banyak pemuda kini merasa harus terus menciptakan konten olahraga untuk mempertahankan citra mereka.

Dalam banyak kasus, esensi olahraga sebagai aktivitas untuk diri sendiri telah hilang, digantikan oleh kebutuhan untuk tampil, ditonton, dan divalidasi.

Potensi Positif Strava dan Komunitas Lari
Namun, tren Strava tidak sepenuhnya negatif. Banyak anak muda yang terdorong untuk mulai aktif berolahraga karena mengikuti tren. Beberapa di antaranya bahkan berhasil menumbuhkan komunitas lari, membangun solidaritas, dan menciptakan ruang interaksi positif di luar dunia maya.

Dengan fitur pelacakan performa dan pencapaian visual, Strava mampu membantu pengguna menetapkan target pribadi dan menjaga motivasi. Validasi dari teman-teman digital juga bisa menjadi pemicu konsistensi dalam menjalani hidup sehat.

Refleksi Pendidikan: Peran Sekolah dan Keluarga
Dunia pendidikan memiliki peran penting dalam merespons fenomena ini. Sekolah harus mendorong literasi digital yang kritis, serta membekali siswa dengan nilai kejujuran dan integritas digital. Fenomena mengambil minuman tanpa membayar adalah sinyal perlunya pendidikan etika yang lebih kuat.

Guru harus memberi ruang aman bagi siswa untuk membangun identitas otentik, serta mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh jumlah likes, tetapi oleh konsistensi, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Olahraga, Teknologi, dan Cermin Sosial
Fenomena Strava mencerminkan dinamika sosial yang kompleks dalam kehidupan anak muda modern. Di satu sisi, ia menjadi alat pemberdayaan, di sisi lain bisa menjadi jebakan eksistensial. Oleh karena itu, penting bagi pemuda, pendidik, dan masyarakat luas untuk menimbang ulang: apakah kita berolahraga untuk menjadi sehat, atau untuk terlihat sehat?

Dalam dunia yang serba digital, mengenali batas antara realita dan pencitraan adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih jujur, sehat, dan bermakna.

Terkini