Indonesia Masih Andalkan Batu Bara Meski Targetkan Net Zero Emission 2060

Indonesia Masih Andalkan Batu Bara Meski Targetkan Net Zero Emission 2060
Indonesia Masih Andalkan Batu Bara Meski Targetkan Net Zero Emission 2060

JAKARTA - Indonesia masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara meski menetapkan target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa penggunaan PLTU batu bara akan dilengkapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) guna meminimalisir dampak lingkungan.

"Jadi, judulnya batu bara bukan kotor, ini batu bara bersih," ungkap Bahlil Lahadalia. Pernyataan ini ingin menyampaikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi melalui pengembangan teknologi yang lebih bersih.

Bahlil menegaskan bahwa meski fokus pada sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, batu bara tetap dipertahankan karena alasan ekonomis. "Kita blending agar harganya pas masuk. Tentu, kita tidak mau mengalami persoalan yang susah," tambahnya.

Lebih jauh, Bahlil memaparkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan energi baru terbarukan (EBT) terkait biaya produksinya yang saat ini masih tinggi. Misalnya, biaya listrik dari gas ternyata jauh lebih mahal dibandingkan dengan batu bara, dengan selisih yang bisa mencapai Rp5-6 triliun per gigawatt (GW) per tahun.

Apabila Indonesia ingin mengembangkan 10 GW PLTU berbasis gas hingga tahun 2029, maka selisih biaya yang harus ditanggulangi bisa mencapai Rp50 triliun setiap tahunnya. “Artinya, dibutuhkan Rp500 triliun hingga tahun 2034 untuk target pembangunan PLTU gas sebanyak 21 GW. Ini membebani ekonomi kita,” jelas Bahlil.

Penggunaan gas sebagai solusi pengganti batu bara juga menghadapi tantangan lain berupa ketersediaan. Proyeksi menunjukkan bahwa dibutuhkan 250 kargo gas LNG (Liquefied Natural Gas) untuk membangun 10 GW PLTU berbasis gas. “Jadi, ini adalah dilema yang sangat luar biasa. Harganya tinggi, dan hampir seluruh produksi gas domestik bisa habis untuk kebutuhan listrik," imbuhnya.

Menyadari kondisi tersebut, Bahlil menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan batu bara, terutama mengingat cadangan yang masih melimpah. Ia juga menekankan bahwa negara-negara besar seperti China dan India masih menggunakan batu bara dengan mengkombinasikannya dengan energi terbarukan sehingga harga energi menjadi lebih kompetitif. "Saya sudah berdiskusi dengan Presiden Prabowo mengenai hal ini. Sebagai negara dengan cadangan batu bara yang besar, kenapa kita harus mengikuti arus negara-negara besar kalau mereka juga masih menggunakan batu bara?" ujar Bahlil.

Bahlil juga mengungkapkan bahwa rencana pensiun dini PLTU batu bara tetap ada, sebagaimana tertera dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Pemanfaatan batu bara akan dikurangi secara bertahap dan lebih banyak mengadopsi gas serta EBT lainnya. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memenuhi Perjanjian Iklim Paris, atas inisiatif negara-negara maju termasuk Amerika Serikat (AS).

Namun, Bahlil juga menyampaikan kekhawatirannya pasca keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris di masa pemerintahan Donald Trump yang lebih mengutamakan kepentingan domestik. “Setelah AS keluar, ada kekeliruan dari sisi kesepakatan global. Ini yang harus kita evaluasi,” katanya.

Ke depan, Bahlil menekankan pentingnya mengambil langkah strategis agar biaya energi tidak membebani masyarakat tetapi tetap mampu meningkatkan bauran energi baru terbarukan. Dalam hal ini, kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta sangat diharapkan untuk menciptakan inovasi dalam efisiensi energi dan teknologi yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, Indonesia terus mencari keseimbangan antara kebutuhan domestik dan komitmen global untuk mengurangi emisi karbon. Dalam konteks ini, Bahlil menekankan bahwa perpaduan antara batu bara dengan teknologi CCS, serta pengembangan EBT yang lebih efektif, merupakan langkah pragmatis dalam mencapai target emisi bersih di masa mendatang. “Kami terus mencari jalan tengah agar Indonesia tidak tertinggal dalam kompetisi global tetapi tetap menjaga kepentingan nasional," tutup Bahlil.

Dengan berbagai tantangan yang ada, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dalam perjalanannya menuju 2060, upaya untuk mencapai net zero emission masih menjadi prioritas pemerintah, dengan tetap mempertimbangkan peluang dan kendala unik yang dihadapi oleh negara ini.

Zahra

Zahra

Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Harga BBM Masih Stabil hingga Akhir April 2025, Pertamina hingga Shell Belum Lakukan Penyesuaian

Harga BBM Masih Stabil hingga Akhir April 2025, Pertamina hingga Shell Belum Lakukan Penyesuaian

PLN Diusulkan Kembali Berikan Diskon Tarif Listrik untuk Masyarakat Menengah ke Bawah

PLN Diusulkan Kembali Berikan Diskon Tarif Listrik untuk Masyarakat Menengah ke Bawah

Bank Mandiri Siapkan 3.000 Rumah Murah Lelang Tahun 2025, Harga Mulai Rp 100 Jutaan: Solusi Hunian Terjangkau untuk Rakyat

Bank Mandiri Siapkan 3.000 Rumah Murah Lelang Tahun 2025, Harga Mulai Rp 100 Jutaan: Solusi Hunian Terjangkau untuk Rakyat

Indonesia dan Swiss Tingkatkan Kerja Sama Bilateral melalui Proyek PLTA untuk Mendorong Transisi Energi Berkelanjutan dan Pengurangan Emisi Karbon

Indonesia dan Swiss Tingkatkan Kerja Sama Bilateral melalui Proyek PLTA untuk Mendorong Transisi Energi Berkelanjutan dan Pengurangan Emisi Karbon

Listrik 24 Jam Kini Terang di Pulau Parit Karimun, Pemprov Kepri dan PLN Perkuat Kolaborasi Demi Pemerataan Energi

Listrik 24 Jam Kini Terang di Pulau Parit Karimun, Pemprov Kepri dan PLN Perkuat Kolaborasi Demi Pemerataan Energi