
JAKARTA - Meski pemerintah terus mendorong pengembangan energi terbarukan, proyeksi bauran energi primer untuk pembangkit listrik nasional periode 2025-2034 menunjukkan dominasi batu bara masih sulit digeser. Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang dirilis PLN dan Kementerian ESDM, porsi batu bara diproyeksikan tetap mendominasi hingga satu dekade ke depan.
Dalam data yang dikutip dari Katadata (4 Juli 2025), batu bara diperkirakan menyuplai sekitar 46,2% dari total kebutuhan energi primer pembangkit pada 2025. Angka ini hanya sedikit berkurang menjadi 44,1% pada 2030, lalu menurun lagi ke 41,1% pada 2034. Meski tren menurun tipis, batu bara masih menjadi tulang punggung pasokan listrik nasional.
Sementara itu, porsi energi baru terbarukan (EBT) seperti air, panas bumi, biomassa, hingga energi surya dan angin memang diharapkan tumbuh signifikan, namun belum cukup kuat menggoyang dominasi energi fosil. Proyeksi menunjukkan EBT akan naik dari 15,7% pada 2025, menjadi 21,4% di 2030, dan menyentuh 23% di 2034. Kenaikan ini terbilang positif, namun masih jauh dari target ambisius 23% pada 2025 yang ditetapkan dalam Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Baca Juga
Seiring dengan kebijakan pengurangan emisi karbon dan rencana pensiun dini PLTU batu bara yang mulai digaungkan pemerintah, proyeksi RUPTL tetap memperlihatkan tantangan besar untuk merealisasikan transisi energi bersih. Salah satu penyebabnya, pembangunan infrastruktur pembangkit EBT membutuhkan investasi besar, waktu lama, serta dukungan regulasi dan pembiayaan yang konsisten.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen mendorong investasi di sektor EBT, namun batu bara masih diperlukan sebagai sumber energi yang stabil dan terjangkau untuk menopang kebutuhan listrik nasional yang terus tumbuh. “Kami tidak bisa serta-merta menghapus batu bara. Transisi energi harus dilakukan bertahap dengan menjaga pasokan listrik tetap andal dan harga tetap terjangkau,” jelas Jisman dalam keterangan tertulisnya.
Selain batu bara, energi primer lain yang turut menyumbang bauran listrik adalah gas bumi. Perannya diprediksi relatif stabil di kisaran 28-30% sepanjang 2025-2034. Gas bumi dipandang lebih bersih ketimbang batu bara, sehingga menjadi alternatif sementara dalam masa transisi menuju energi yang lebih hijau.
Sedangkan peran bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan terus menurun drastis. Pada 2025, BBM masih diproyeksikan berkontribusi sekitar 2% dalam bauran energi primer, namun kemudian menurun menjadi hanya 0,9% pada 2034. Hal ini sejalan dengan kebijakan pengurangan penggunaan pembangkit berbasis diesel, khususnya di wilayah-wilayah terpencil, yang akan diganti dengan pembangkit EBT maupun konversi ke gas.
Sementara itu, energi air (hydro) diharapkan meningkat kontribusinya secara perlahan. Dari proyeksi 5,2% pada 2025, naik ke 7,1% di 2030, dan 7,3% pada 2034. Energi panas bumi juga diprediksi tumbuh dari 4,8% pada 2025 menjadi 6,2% di 2034. Sedangkan energi terbarukan lainnya seperti biomassa, tenaga surya, dan angin secara agregat naik dari hanya 1,6% pada 2025 menjadi 4,8% pada 2034.
Kendati pertumbuhan porsi EBT belum secepat yang diharapkan, pemerintah tetap menegaskan komitmen terhadap agenda transisi energi bersih. Salah satunya dengan menyiapkan mekanisme pensiun dini PLTU lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP), serta terus menyesuaikan regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi EBT.
“Investasi di sektor EBT masih menghadapi tantangan seperti risiko pendanaan, ketidakpastian kebijakan, dan perizinan yang belum terintegrasi sepenuhnya,” ujar Jisman. “Itulah sebabnya kami mempercepat reformasi regulasi dan memfasilitasi kemitraan swasta agar percepatan bauran EBT dapat terwujud.”
Selain itu, sejumlah program strategis untuk mendukung EBT terus digencarkan pemerintah, antara lain pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di rumah tangga dan gedung pemerintah, pengembangan kawasan industri hijau berbasis EBT, serta program konversi pembangkit diesel ke energi terbarukan di daerah terpencil dan kepulauan.
Di tingkat global, tren transisi energi memang menjadi agenda mendesak untuk menekan emisi gas rumah kaca demi menahan laju perubahan iklim. Namun, Indonesia sebagai negara berkembang dengan kebutuhan listrik yang masih tumbuh pesat, menghadapi dilema antara memenuhi pasokan energi yang stabil dan terjangkau, dengan tuntutan global untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor, kepastian kebijakan, dan dukungan pendanaan hijau dari lembaga internasional dinilai menjadi kunci sukses mempercepat transisi energi nasional.
Dengan proyeksi RUPTL terbaru yang masih menempatkan batu bara sebagai kontributor utama, tampak bahwa proses transisi menuju energi hijau di Indonesia akan berlangsung gradual, bukan revolusioner. Namun setidaknya, tren pertumbuhan porsi EBT menunjukkan arah yang positif meski tantangannya masih besar.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
3.
OPPO A5x: Baterai Jumbo, Desain Tangguh
- 04 Juli 2025
4.
Xiaomi Luncurkan Redmi Pad 2 untuk Edukasi
- 04 Juli 2025
5.
BMKG Peringatkan Aceh Soal Potensi Hujan Lebat
- 04 Juli 2025