JAKARTA - Indonesia terus menunjukkan dominasinya dalam industri nikel global, meskipun harga komoditas ini mengalami penurunan drastis selama dua tahun terakhir. Negara ini tetap mempertahankan volume produksi yang tinggi, sembari menghadapi tantangan regulasi lingkungan dan ketidakpastian pasar global. Dalam lanskap industri yang berubah-ubah ini, strategi Indonesia untuk tetap memimpin pasar nikel dunia menjadi sorotan utama.
Menurut data terkini dari S&P Global, harga nikel diproyeksikan mencapai titik terendah pada 2025, yaitu USD 15.078 per metrik ton, angka yang belum pernah terlihat sejak 2020. Pada 2024, harga rata-rata nikel tercatat sebesar USD 15.328 per metrik ton, mengalami penurunan sebesar 7,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor-faktor penyebab penurunan harga ini meliputi penguatan dolar Amerika Serikat, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta surplus pasokan global yang semakin meningkat.
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia mengatasi penurunan harga ini dengan meningkatkan produksi. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan bahwa produksi nasional pada 2025 diproyeksikan mencapai 298,5 juta metrik ton basah, meningkat dari 272 juta metrik ton pada tahun sebelumnya. Kenaikan produksi ini turut berkontribusi pada kelebihan pasokan global, yang diperkirakan mencapai 156.000 metrik ton pada tahun ini.
Walaupun harga melemah, produsen nikel di Indonesia tetap optimistis terhadap permintaan jangka panjang, terutama dari industri kendaraan listrik (EV). Sejalan dengan itu, Budi Santoso, seorang analis industri di APNI, percaya bahwa transisi global menuju mobilitas berkelanjutan akan terus mendorong permintaan. "Permintaan dari sektor kendaraan listrik akan terus meningkat dan menjadi pendorong utama bagi industri nikel dalam beberapa tahun ke depan," ujar Budi.
Namun demikian, ketergantungan industri nikel Indonesia pada pasar Tiongkok menjadi isu hangat yang perlu diperhatikan. Sekitar 75% kapasitas pemurnian nikel di Indonesia dikelola oleh perusahaan asal Tiongkok, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas rantai pasokan. Pemerintah dan pelaku industri kini dihadapkan pada tantangan untuk mengurangi ketergantungan ini dan mencari pasar alternatif yang dapat menyerap produksi nikel dalam jumlah besar.
Isu lainnya berasal dari kebijakan proteksi lingkungan yang makin ketat, yang mulai berpengaruh pada operasi penambangan nikel di Indonesia. Pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan nikel yang belum memenuhi standar keberlanjutan. Sebagai langkah penyesuaian, sejumlah produsen diberitakan berencana mengimpor bijih nikel dari Filipina guna memenuhi aturan baru tersebut.
Dampak ekonomi dari perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga menambah tekanan pada permintaan nikel. Kebijakan tarif tambahan sebesar 10% yang diumumkan pada Januari 2025 dapat menekan industri berbasis nikel, terutama di Tiongkok, negara yang banyak bergantung pada ekspor nikel dari Indonesia.
Di tengah bayang-bayang penurunan harga yang pendek, proyeksi jangka panjang untuk pasar nikel masih menunjukkan potensi positif. Berdasarkan analisis pasar terkini, pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) permintaan nikel diperkirakan mencapai 5,1% hingga 2035, melampaui pertumbuhan pasokan yang hanya 4,6%. Proyeksi ini menunjukkan adanya kemungkinan defisit pasokan menjelang 2030, yang akan membuka peluang kenaikan harga nikel di masa depan.
Dengan potensi pemulihan ini, Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar nikel global. Ada dorongan signifikan untuk menarik lebih banyak investasi dalam industri hilirisasi nikel, yang berpeluang memperdalam rantai nilai domestik dan meningkatkan daya saing internasional.
Namun, untuk mewujudkan potensi ini, industri nikel Indonesia harus mengatasi berbagai tantangan, termasuk menyeimbangkan produksi yang tinggi dengan regulasi lingkungan yang semakin ketat, serta mengelola dinamika geopolitik yang kompleks. Budi Santoso menambahkan, "Indonesia memiliki peluang yang besar, namun kita harus bisa mengelola produksi dengan bijak, memastikan bahwa industri ini berkelanjutan dan tahan terhadap guncangan global."
Dalam menghadapi kompleksitas ini, koordinasi antara pemerintah, pelaku industri, dan pembuat kebijakan internasional akan menjadi kunci untuk menjaga daya saing dan keberlanjutan industri nikel Indonesia. Dengan pendekatan strategis dan inovatif, Indonesia berpeluang tidak hanya mempertahankan posisi strategisnya di pasar nikel global tetapi juga meningkatkan peranannya dalam perekonomian global yang berkelanjutan.