JAKARTA - Konflik agraria antara warga Nangahale dan perusahaan milik Keuskupan Maumere, PT Krisrama, memanas setelah delapan warga dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus perusakan plang penanda tanah. Kejadian ini menambah babak baru dalam sejarah panjang perseteruan tanah antara warga lokal dan lembaga gereja setempat. Dalam persidangan yang dilaksanakan pada 18 Februari 2024, terdakwa mengklaim aksi mereka merupakan respons emosional terhadap perusakan tanaman milik warga yang sebelumnya dilakukan oleh pihak yang diduga sebagai suruhan PT Krisrama.
Greg Djako, pengacara yang mewakili para terdakwa, mengungkapkan bahwa sebelum insiden perusakan plang, terdapat kejadian di mana beberapa orang diduga sebagai utusan PT Krisrama melakukan perusakan terhadap tanaman perkebunan milik warga. "Sebelum peristiwa perusakan plang, ada orang yang diduga utusan PT Krisrama melakukan perusakan tanaman warga," ujar Greg. Kejadian tersebut terjadi pada pagi hari tanggal 29 Juli 2024 dan memicu kemarahan warga yang berujung pada perusakan plang di sore harinya.
Perusakan Tanaman Menyulut Amarah Warga
Penting untuk memahami bahwa tanaman yang dirusak memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi warga Nangahale. Menurut Greg, kerugian dari perusakan tersebut diperkirakan mencapai ratusan juta, mengingat tanaman seperti pisang, mete, dan palawija menjadi andalan ekonomi mereka. "Mereka merespons karena tanaman mereka dirusak dengan cara dibabat, ditebang, dirusak, dan dicabut," tambah Greg.
Kesaksian dari salah satu terdakwa, Maria Magdalena Leny, menegaskan bahwa perusakan tanaman oleh pihak yang diduga suruhan perusahaan memicu ketegangan di pagi hari yang sama dengan peristiwa perusakan plang. Hal ini memberi gambaran bahwa tindakan perusakan plang adalah reaksi spontan atas tindakan yang mereka anggap menzalimi hak ekosistem agraria mereka.
Aspek Hukum dan Tuntutan Jaksa
Para terdakwa saat ini menghadapi dakwaan alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu pelanggaran atas pasal 170 ayat (1) KUHP Pidana tentang pengeroyokan barang dan pasal 406 ayat (1) tentang perusakan barang milik orang lain. Menurut dakwaan, tindakan perusakan plang tersebut dilakukan "secara bersama-sama merusak dengan menggunakan kekerasan" dan mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan pada plang milik PT Krisrama, dengan kerugian material ditaksir sebesar Rp2 juta.
Argumen Pembelaan Terdakwa
Greg Djako berargumen bahwa tindakan para terdakwa dalam opsi pembalasan dapat dipertimbangkan sebagai suatu bentuk pembelaan terpaksa atau yang dikenal dengan istilah noodweer dalam hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP. "Mereka merasa terpaksa dan ingin melindungi harta bendanya,” ucap Greg. Dia menyoroti bahwa insiden ini harus dipahami dari perspektif keadilan restoratif yang mempertimbangkan hubungan sebab-akibat atau kausalitas antara tindakan perusakan tanaman dan aksi perusakan plang.
Perspektif PT Krisrama
Dalam tanggapannya terhadap fakta persidangan, Direktur Pelaksana PT Krisrama, Romo Robertus Yan Faroka, mengemukakan pandangannya bahwa pemasangan plang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan resmi institusi. "Pembersihan dan pemasangan papan plang yang bertuliskan nomor sertifikat adalah satu-kesatuan dengan pekerjaan 29 Juli 2024 di atas lokasi tanah HGU yang sudah bersertifikat," ungkap Yan.
Konteks Besar Konflik Agraria
Perseteruan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah panjang konflik agraria di Nangahale yang melibatkan tanah Hak Guna Usaha (HGU). PT Krisrama menguasai beberapa hektar tanah melalui hak HGU yang diwarisi dari Keuskupan Agung Ende setelah Keuskupan Maumere terbentuk pada 2005. Akan tetapi, setelah masa berlaku HGU berakhir pada 2013, masyarakat setempat yang mengklaim tanah tersebut sebagai tanah adat meminta pengembalian hak atas tanah.
Historis tanah-tanah ini sejatinya berakar dari kepemilikan masa kolonial Belanda yang kemudian berpindah tangan ke institusi gereja. Pergeseran kepemilikan tanah ini memantik protes dari warga yang meyakini bahwa tanah adalah bagian dari warisan adat mereka yang harus dikembalikan setelah masa kelola HGU berakhir.
Mempertimbangkan Saksi Ahli
Untuk memperkuat argumen pembelaan, Greg mengungkapkan bahwa pihaknya berencana menghadirkan saksi-saksi ahli dalam bidang pidana, tata negara, dan masyarakat adat pada sidang selanjutnya tanggal 26 Februari. Para ahli ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang lebih komprehensif terkait aspek hukum, hak adat, dan norma-norma masyarakat dalam kasus ini.
Dalam intisarinya, kasus ini mencerminkan dinamika dan kompleksitas konflik agraria yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama ketika tanah-tanah bersejarah dihadapkan pada aturan formal dan kepentingan korporasi. Sementara pengadilan sedang berlanjut, konflik ini menggarisbawahi kebutuhan untuk penyelesaian agraria yang lebih inklusif, mendengarkan hak-hak masyarakat adat dan sejarah lokal. Demikianlah saga hukum dan sosial-ekonomi ini terus berkembang, menuntut pemerhati agraria dan institusi hukum untuk lebih dalam menggali akar permasalahan dan solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.