JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa Pulau Jawa tidak lagi mengalami surplus listrik. Kondisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, terutama mengingat pertumbuhan kebutuhan energi yang semakin pesat seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa pasokan listrik di Pulau Jawa sudah dalam kondisi siaga selama dua tahun terakhir. Menurutnya, pemahaman bahwa Pulau Jawa masih memiliki kelebihan listrik sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini.
"Jangan menyangka kalau Jawa masih oversupply, ya. Kita sudah sangat membutuhkan energi, karena kebutuhan bangkit dari COVID-19 ini, lalu terasa sekali bahwa mulai bergerak. Nah, lampu kuning sudah menyala," kata Eniya.
Menurut Eniya, percepatan pembangunan pembangkit listrik baru, terutama dari energi terbarukan, menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Dua tahun ke depan disebut sebagai masa krusial bagi penguatan ketahanan energi di Jawa.
"Kami harus mempercepat pembangunan pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), terutama di Jawa. Ini bukan pilihan lagi, tapi sudah menjadi kebutuhan mendesak," tegasnya.
Pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan pembangunan kabel transmisi dari Sumatera menuju Jawa sebagai salah satu solusi jangka panjang untuk memperkuat pasokan listrik di pulau terpadat di Indonesia tersebut.
Sementara Pulau Jawa menghadapi ancaman kekurangan pasokan listrik, kondisi berbanding terbalik terjadi di Sulawesi. Wilayah Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara, saat ini mengalami surplus pasokan energi, terutama dari pembangkit berbasis energi terbarukan. Namun sayangnya, potensi energi besar tersebut belum bisa dioptimalkan karena keterbatasan infrastruktur transmisi.
"Kalau kita melihat EBT, sebetulnya Sulawesi Utara itu penuh EBT, sedangkan industri smelter atau tambang itu di tengah-tengah, di Morowali dan lain-lain. Nah, yang atas itu Sulawesi Utara, oversupply sekarang," jelas Eniya.
Ia menambahkan, salah satu penyebab utama lambatnya pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia adalah karena minimnya jalur transmisi yang dapat menghubungkan pusat-pusat pembangkit energi dengan lokasi industri dan kebutuhan utama.
"Ini mengapa pemanfaatan EBT di Indonesia sering tertinggal. Energi yang ada tidak bisa disalurkan ke lokasi yang membutuhkan," ujar Eniya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan nasional mencapai 3.687 gigawatt (GW). Sumatera menyumbang potensi terbesar dengan total 1.240 GW. Sementara Pulau Jawa berada di urutan kedua dengan 696,58 GW.
Kalimantan juga memiliki cadangan besar sebesar 517,53 GW, disusul Maluku dan Papua dengan total potensi mencapai 518,46 GW. Sulawesi sendiri memiliki potensi energi terbarukan sebesar 257,36 GW. Namun, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam mengoptimalkan potensi tersebut adalah masalah infrastruktur, terutama transmisi listrik lintas wilayah.
Upaya pemerintah untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan terus dilakukan melalui berbagai program dan kebijakan. Salah satu langkah strategis adalah penguatan investasi dalam pembangunan infrastruktur transmisi serta percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT.
"Kami juga mendorong sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta dalam mempercepat transisi energi bersih," ungkap Eniya.
Selain itu, pemerintah membuka peluang kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan internasional, guna mempercepat pengembangan infrastruktur energi bersih.
Kementerian ESDM juga menilai pentingnya modernisasi infrastruktur ketenagalistrikan, termasuk digitalisasi sistem pengelolaan jaringan untuk memastikan efisiensi penyaluran energi.
Ancaman defisit listrik di Pulau Jawa bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga bisa berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pulau Jawa sebagai pusat perekonomian Indonesia, menampung sebagian besar kawasan industri, kawasan bisnis, hingga pusat pemerintahan.
Jika kebutuhan energi tidak dipenuhi dengan cepat, maka dikhawatirkan dapat menghambat percepatan pembangunan ekonomi nasional yang sedang berlangsung.
"Kami harus mengantisipasi sejak dini agar kondisi kekurangan listrik ini tidak menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi," tegas Eniya.
Selain menyoroti pentingnya pembangunan pembangkit baru di Jawa, Eniya juga menekankan bahwa optimalisasi potensi energi di wilayah lain harus didukung percepatan pembangunan infrastruktur transmisi nasional.
Dengan target Indonesia mencapai Net Zero Emission pada 2060, percepatan pembangunan energi baru terbarukan menjadi agenda utama pemerintah. Kondisi di Pulau Jawa saat ini menjadi pengingat bahwa transisi energi bersih bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kelangsungan pembangunan.
"Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa. Tantangannya tinggal bagaimana kita membangun infrastruktur transmisi yang memadai agar energi tersebut dapat dimanfaatkan optimal," pungkas Eniya.
Dengan langkah konkret yang terukur dan kolaborasi antar-pihak, Indonesia optimistis mampu mengatasi tantangan krisis energi dan menjadikan energi terbarukan sebagai pilar utama ketahanan energi nasional di masa depan.