JAKARTA - Dunia berpeluang menambah kapasitas energi terbarukan hingga 300 gigawatt (GW) pada 2030 dengan memanfaatkan lahan bekas tambang batu bara untuk pembangkitan energi surya. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) yang dirilis pada Selasa, 17 Juni 2025. Berdasarkan analisis GEM, potensi tersebut berasal dari ribuan kilometer persegi lahan bekas tambang yang tersebar di berbagai negara produsen batu bara, termasuk Indonesia.
Analisis yang dilakukan GEM menggunakan data Global Coal Mine Tracker mencatat bahwa terdapat setidaknya 312 area tambang yang sudah tidak beroperasi sejak 2020. Dari area tersebut, total luas lahan yang berpotensi dikonversi menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai 2.089 kilometer persegi. Apabila seluruh lahan itu dimanfaatkan optimal, kapasitas yang dihasilkan diperkirakan mencapai 103 GW.
Selain itu, GEM juga menemukan bahwa akan ada tambahan sekitar 3.731 kilometer persegi lahan tambang yang akan ditinggalkan sebelum tahun 2030. Jika ditotal, maka ada sekitar 5.820 kilometer persegi lahan yang siap diubah menjadi area pembangkitan energi surya. Dengan potensi tersebut, kapasitas energi terbarukan dunia dapat meningkat hingga 300 GW atau sekitar 15 persen dari total kapasitas terpasang global saat ini.
"Potensi ini siap diwujudkan oleh produsen batu bara utama seperti Australia, Amerika Serikat, India, dan Indonesia," ujar Cheng Cheng Wu, Project Manager Energy Transition Tracker di Global Energy Monitor. "Mengubah area tambang jadi pembangkitan surya menawarkan kesempatan langka untuk merestorasi lahan, menciptakan lapangan kerja baru, dan mendorong transisi menuju energi bersih," tambahnya.
GEM juga mengungkapkan bahwa program konversi lahan bekas tambang menjadi PLTS sudah mulai berjalan di beberapa negara. Data GEM menunjukkan China memimpin upaya ini dengan memiliki 90 program konversi berkapasitas total 14 GW, serta 46 rencana proyek tambahan dengan kapasitas 9 GW. Konsep ini mulai dilirik banyak negara karena selain mendukung transisi energi, juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi.
Di Indonesia, potensi konversi lahan tambang menjadi energi surya cukup besar. GEM mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi pembangkitan energi surya sebesar 59 GW. Potensi ini berasal dari sekitar 1.190 kilometer persegi lahan bekas tambang batu bara yang tersebar di 26 area tambang yang diproyeksikan berhenti beroperasi sebelum 2030.
Wilayah yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai pusat pembangkitan energi surya di Indonesia meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dua provinsi ini merupakan pusat utama aktivitas pertambangan batu bara nasional, sekaligus menyimpan cadangan lahan pascatambang yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai PLTS.
"Indonesia memiliki posisi strategis dalam mendorong transisi energi di Asia Tenggara. Dengan memanfaatkan lahan bekas tambang untuk PLTS, Indonesia bisa menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan sekaligus memperluas lapangan pekerjaan hijau," ungkap Cheng Cheng Wu.
Selain manfaat lingkungan, konversi ini juga membuka potensi penciptaan lapangan kerja secara masif. Laporan GEM memperkirakan bahwa program konversi lahan tambang menjadi PLTS bisa menciptakan setidaknya 259.700 pekerjaan tetap dan 317.500 pekerjaan kontraktor atau temporer secara global. Hal ini dinilai mampu menopang perekonomian lokal di kawasan-kawasan eks tambang yang sebelumnya terdampak penutupan aktivitas pertambangan.
Di Indonesia, beberapa proyek konversi lahan tambang menjadi pembangkit listrik tenaga surya sudah mulai berjalan. Salah satunya diinisiasi oleh PT Bukit Asam Tbk, salah satu BUMN pertambangan batu bara nasional. PT Bukit Asam telah merencanakan pembangunan PLTS di tiga lokasi berbeda, yakni berkapasitas 200 megawatt (MW) di Sumatera Barat, 200 MW di Sumatera Selatan, dan 30 MW di Kalimantan Timur.
Langkah-langkah ini menegaskan bahwa Indonesia tidak sekadar berbicara soal transisi energi, tetapi juga mulai mengimplementasikannya di lapangan. Apalagi, Indonesia memiliki target untuk mencapai netral karbon pada 2060 mendatang, sesuai dengan komitmen dalam Kesepakatan Paris.
Dengan dukungan regulasi yang tepat dan kerja sama antara pemerintah, swasta, serta lembaga internasional, potensi Indonesia untuk menyumbang 59 GW kapasitas energi bersih dari lahan bekas tambang bisa menjadi kenyataan.
"Mengubah tambang batu bara yang selama ini dianggap sebagai warisan industri kotor menjadi sumber energi hijau merupakan langkah revolusioner. Indonesia bisa menjadi pelopor di Asia Tenggara untuk hal ini," pungkas Cheng Cheng Wu.
Upaya konversi lahan tambang menjadi PLTS diyakini menjadi salah satu strategi penting dalam mempercepat transisi energi global, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Selain mengatasi krisis energi fosil yang kian menipis, langkah ini juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan.