Indonesia Butuh Strategi Terpadu untuk Kemandirian Industri Pertahanan

Sabtu, 28 Juni 2025 | 09:34:09 WIB
Indonesia Butuh Strategi Terpadu untuk Kemandirian Industri Pertahanan

JAKARTA — Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen serius untuk memperkuat kemandirian industri pertahanan nasional melalui berbagai proyek strategis, mulai dari pengadaan kapal selam Scorpene, kapal induk landing helicopter dock (LHD), hingga pengembangan fregat Merah Putih, drone, rudal, dan roket. Namun, upaya ini dinilai masih membutuhkan fondasi kelembagaan yang lebih kuat agar tidak hanya bersifat simbolis dan parsial.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan acuan kelembagaan yang otoritatif dan strategi jangka panjang agar proyek-proyek tersebut benar-benar membawa kemandirian teknologi dan peningkatan kapabilitas industri pertahanan nasional.

“Kalau hanya mengandalkan proyek satu per satu, tanpa master plan dan badan otoritatif yang bisa menyinkronkan kebutuhan dan kemampuan, maka hasilnya tidak akan maksimal. Indonesia perlu belajar dari Turki dengan badan semacam Savunma Sanayii Ba?kanl??? (SSB) yang terbukti mampu mengorkestrasi kebijakan industri pertahanan secara menyeluruh,” ujar Khairul Fahmi.

Kebutuhan Kelembagaan Seperti SSB di Turki

Khairul menjelaskan, Badan Industri Pertahanan Turki (SSB) berperan strategis dalam menentukan arah pengembangan teknologi, lokalisasi produksi, hingga negosiasi alih teknologi dengan mitra luar negeri. Turki kini menjadi salah satu negara dengan perkembangan industri pertahanan tercepat, yang diakui secara global melalui produk drone Bayraktar TB2, tank Altay, hingga rudal SOM-J.

Menurutnya, Indonesia saat ini sudah memiliki BUMN strategis seperti PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia. Namun, tidak adanya satu lembaga otoritatif yang mengoordinasikan seluruh program dan memastikan keselarasan kebutuhan TNI, BUMNIS, dan anggaran negara membuat program industri pertahanan sering berjalan sendiri-sendiri.

“Turki punya SSB yang berdiri di atas semua kementerian dan lembaga lain dalam urusan industri pertahanan. Indonesia perlu lembaga serupa yang langsung bertanggung jawab ke Presiden agar kebijakan tidak berubah-ubah seiring pergantian pejabat,” tegas Fahmi.

Industri Pertahanan Masih Mengandalkan Impor

Hingga saat ini, sebagian besar kebutuhan utama alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia masih dipenuhi lewat impor. Meski ada transfer teknologi, banyak di antaranya hanya bersifat simbolik tanpa keberlanjutan. Proyek seperti pembelian pesawat tempur Rafale dan kapal selam Scorpene dari Prancis, misalnya, masih minim kejelasan soal seberapa besar komponen lokal yang bisa diserap oleh industri dalam negeri.

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sendiri telah berupaya mendorong lokalisasi komponen melalui berbagai kerja sama. Namun, Khairul menilai implementasinya di lapangan masih lemah karena tidak ada lembaga yang bisa secara efektif mengawasi dan memaksa perusahaan asing memenuhi komitmen alih teknologi.

“Tanpa pengawasan dan strategi nasional yang tegas, kita hanya jadi pasar bagi industri pertahanan asing, bukan pemain,” tambahnya.

Fokus ke Litbang dan SDM

Selain kelembagaan, Khairul menilai pembangunan industri pertahanan harus diiringi peningkatan kapasitas riset dan pengembangan (litbang) serta kualitas sumber daya manusia (SDM). Ia mencontohkan Korea Selatan yang dalam dua dekade terakhir berinvestasi besar dalam litbang dan pendidikan vokasi untuk mendukung industri pertahanan.

“Litbang dan SDM itu kunci utama. Tanpa keduanya, alih teknologi hanya jadi slogan. SDM kita harus disiapkan mulai dari pendidikan kejuruan, politeknik, hingga pelatihan intensif di pabrik-pabrik mitra luar negeri,” tuturnya.

Anggaran Pertahanan dan Tata Kelola

Sementara itu, pengamat pertahanan lain, Connie Rahakundini Bakrie, mengingatkan bahwa anggaran pertahanan juga perlu didukung tata kelola yang transparan dan akuntabel agar tidak hanya habis untuk belanja impor alutsista, tetapi benar-benar berkontribusi pada kemandirian industri dalam negeri.

“Kita perlu memisahkan belanja untuk pemeliharaan dan pengadaan dengan alokasi untuk pengembangan industri pertahanan nasional. Ini penting supaya dana yang besar itu tidak sekadar mengalir ke luar negeri,” ujar Connie dalam diskusi terpisah.

Menurut data Kementerian Keuangan, anggaran pertahanan Indonesia pada 2025 mencapai lebih dari Rp 155 triliun, terbesar dalam sejarah. Namun, porsi untuk pembangunan industri pertahanan dalam negeri belum mencapai 30% dari total belanja pertahanan.

Presiden Dorong Penguatan Industri Dalam Negeri

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri. Ia bahkan menargetkan minimal 50% kebutuhan alutsista dapat dipenuhi industri nasional pada 2030 mendatang.

“Kita harus mandiri dalam memenuhi kebutuhan pertahanan kita. Kekuatan nasional tidak hanya ditentukan oleh pasukan, tetapi juga kemampuan industrinya,” kata Jokowi dalam rapat terbatas soal industri pertahanan, beberapa waktu lalu.

Momentum Harus Dimanfaatkan

Pemerintah telah menunjukkan komitmen nyata melalui program pengadaan alutsista strategis. Namun, agar tidak sekadar menjadi proyek simbolis, dibutuhkan fondasi kelembagaan seperti badan otoritatif yang mengintegrasikan semua program industri pertahanan.

“Ini momentum penting untuk membenahi industri pertahanan. Jangan sampai hanya sekadar proyek kebanggaan tanpa kontribusi nyata bagi kemandirian nasional,” pungkas Khairul Fahmi.

Terkini