JAKARTA - Perubahan dalam sistem pendidikan tidak selalu harus datang dari atas. Semangat transformasi justru bisa tumbuh dari para pelajar itu sendiri—anak muda yang selama ini dianggap sebagai penerima manfaat pasif dari sistem pendidikan. Namun, kini peran mereka mulai berubah. Mereka tak sekadar duduk di bangku kelas, tetapi juga mulai menyuarakan gagasan dan harapan untuk pendidikan yang lebih bermakna.
Salah satu anak muda yang berada di garda depan perjuangan ini adalah Gilang. Lewat pendekatannya yang lugas dan reflektif, ia menyuarakan pandangan bahwa pelajar bukan sekadar objek yang dibentuk oleh sistem, tetapi justru subjek aktif yang mampu mendorong perubahan dari dalam.
"Saya meyakini bahwa anak muda bukan hanya objek dari pendidikan, tetapi subjek yang mampu mengubahnya," tegasnya. Kalimat ini mencerminkan semangat yang ia bawa dalam gerakannya: membangun jembatan antara suara pelajar dengan dunia pendidikan yang lebih progresif dan memerdekakan.
- Baca Juga Promo Diskon Besar Sabun Cair Alfamart
Dalam pandangannya, sistem pendidikan yang baik bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga bagaimana sistem itu dapat memberikan makna, membuka akses seluas-luasnya bagi semua, serta menumbuhkan semangat belajar yang tidak mudah padam. Gilang tak sekadar menyuarakan idealisme. Ia menggagas aksi nyata, termasuk kampanye digital, forum diskusi, serta mendorong kolaborasi lintas pelajar dan organisasi sosial.
Tujuannya jelas: mendorong sistem pendidikan yang lebih inklusif, relevan, dan berpihak pada pelajar sebagai bagian dari masyarakat yang terus berkembang.
"Advokasi pendidikan bukan sekadar gagasan besar, tapi keberanian mengambil langkah nyata untuk perubahan," ungkapnya. Dalam pandangan Gilang, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Dan langkah kecil itu bisa berupa keberanian bersuara, keberanian menggagas solusi, hingga keberanian untuk menantang sistem yang stagnan.
Pendidikan yang memerdekakan, menurutnya, adalah pendidikan yang memberi ruang pada pelajar untuk berpikir kritis, menyampaikan pendapat, dan merasa memiliki sistem yang sedang mereka jalani. Pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada hasil ujian atau angka semata. Ia harus bisa membentuk manusia yang berpikir, memiliki empati, serta mampu beradaptasi dan berkontribusi terhadap lingkungan sosialnya.
Harapan besar diletakkan pada kolaborasi digital dan gerakan sosial yang kontekstual. Dalam era teknologi yang kian cepat, Gilang percaya bahwa anak muda punya modal kuat untuk mengangkat isu-isu pendidikan ke ruang yang lebih luas. Media sosial, komunitas daring, hingga platform kampanye digital menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan aspirasi dan menjaring dukungan.
Namun lebih dari itu, Gilang menaruh perhatian besar pada pentingnya keterlibatan semua kalangan—guru, orang tua, pembuat kebijakan, hingga masyarakat luas—dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat dan saling mendukung.
Gerakan yang ia lakukan bukan semata-mata tentang dirinya, tetapi tentang semangat kolektif. Ia mengajak pelajar di seluruh Sumatera Selatan, bahkan Indonesia, untuk ikut bersuara. Karena menurutnya, suara pelajar bukan suara yang layak diabaikan. Justru di sanalah letak dinamika pendidikan yang sebenarnya.
Dalam prosesnya, ia juga belajar bahwa perjuangan untuk pendidikan yang lebih baik bukan perjalanan yang mudah. Tidak sedikit tantangan dan skeptisisme yang harus dihadapi. Namun semangat dan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari generasi muda membuatnya tak gentar.
"Lamine adalah masa depan kami, dan nomor 10 adalah simbol dari harapan besar yang kami titipkan padanya,” ujar pelatih Barcelona, Hansi Flick—sebuah kutipan dari dunia olahraga yang senada dengan keyakinan Gilang. Harapan besar juga dititipkan pada generasi muda Indonesia dalam hal pendidikan. Maka, mereka perlu diberi kepercayaan dan ruang untuk membuktikan kemampuan mereka.
Sebagai penutup, Gilang menyampaikan bahwa perubahan bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam. Tetapi langkah awal selalu penting. Melalui semangat kolaborasi, inovasi, dan keberpihakan pada pelajar, ia berharap apa yang ia mulai hari ini akan menjadi dasar yang kuat bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Langkah kecil ini, yang dimulai dari suara seorang pelajar, bisa menjadi gema yang besar jika didengar, dirawat, dan ditindaklanjuti secara kolektif. Dunia pendidikan yang memerdekakan bukan lagi sekadar wacana—melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan bersama.