Harga Minyak Stabil Jelang Keputusan OPEC+, Pasar Waspadai Sanksi Tambahan AS terhadap Rusia
- Rabu, 28 Mei 2025

JAKARTA - Harga minyak dunia tercatat stabil pada perdagangan Rabu pagi, 28 Mei 2025, seiring pasar mencermati potensi kebijakan baru dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) serta ancaman sanksi tambahan dari Amerika Serikat terhadap Rusia. Kondisi ini menunjukkan ketidakpastian global terkait pasokan dan dinamika geopolitik yang masih membayangi pasar energi.
Harga minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik tipis 0,4% menjadi US$61,16 per barel pada pukul 07.31 waktu Singapura. Sementara itu, minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan yang sama justru mencatatkan penurunan 1%, ditutup di level US$64,09 per barel pada sesi perdagangan sebelumnya.
Kestabilan harga minyak ini terjadi di tengah antisipasi pelaku pasar menjelang pertemuan penting OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung dalam dua tahap: pertemuan teknis Komite Pemantau Bersama (Joint Ministerial Monitoring Committee/JMMC) hari ini dan pertemuan penuh negara-negara anggota OPEC+ pada Sabtu, 31 Mei 2025. Agenda utama dari pertemuan tersebut adalah peninjauan ulang kebijakan produksi minyak untuk bulan Juli 2025.
Baca JugaCari Rumah di Yogyakarta, Ini 5 Rekomendasi Rumah Subsidi Murah di Wonosari Harga Serba Rp150 Jutaan
Tekanan Harga Akibat Produksi yang Mandek
Sejak pertengahan Januari, harga minyak mengalami tren penurunan akibat peningkatan produksi dari negara-negara OPEC+ yang tidak sesuai ekspektasi pasar. Kelambanan dalam menyesuaikan volume produksi dengan permintaan global menimbulkan kekhawatiran atas kelebihan pasokan.
Menurut analis energi dari Energy Intelligence Asia, Dimas Wahyu Pranata, “Pasar menunggu sinyal kuat dari OPEC+ apakah mereka akan kembali menahan produksi atau tetap membuka keran pasokan. Stabilitas harga saat ini bersifat sementara dan sangat bergantung pada hasil keputusan akhir pekan nanti.”
Lebih lanjut, Dimas menyatakan bahwa salah satu tantangan utama bagi OPEC+ adalah menjaga keseimbangan antara menjaga harga tetap kompetitif dan memenuhi kebutuhan negara-negara anggota yang ekonominya tergantung pada ekspor minyak.
Sanksi AS terhadap Rusia Jadi Sentimen Tambahan
Di sisi lain, ketegangan geopolitik kembali meningkat setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyampaikan pernyataan keras terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin melalui media sosial. Dalam unggahannya pada Selasa, 27 Mei 2025, Trump menyebut Putin “bermain api” dan mengisyaratkan bahwa pemerintahannya tengah mempertimbangkan paket sanksi baru terhadap Moskow.
Sanksi tersebut dikabarkan akan menyasar sektor energi dan keuangan Rusia, sebagai bentuk tekanan lanjutan atas dugaan keterlibatan Rusia dalam sejumlah konflik regional dan serangan siber. Langkah ini dikhawatirkan akan memengaruhi ekspor minyak Rusia dan menimbulkan ketidakseimbangan pasokan global.
“Jika sanksi tambahan benar-benar diterapkan, maka volume pasokan global bisa terganggu, terutama dari Rusia sebagai salah satu eksportir utama minyak dunia. Ini dapat menjadi faktor yang mendorong harga minyak kembali naik,” ungkap Ekonom Energi dari Centre for Strategic Resources, Lanny Sari Wibowo.
Menurut Lanny, risiko geopolitik seperti ini selalu menjadi faktor penting dalam pembentukan harga komoditas energi, termasuk minyak. “Pasar akan merespons secara langsung terhadap setiap perubahan kebijakan yang berdampak pada arus perdagangan minyak global,” ujarnya.
Efek Tarif dan Perang Dagang
Selain sentimen dari OPEC+ dan Rusia, dinamika perang dagang yang kembali mencuat juga turut mempengaruhi pasar. Ketegangan antara Amerika Serikat dengan sejumlah negara mitra dagang, termasuk China dan Uni Eropa, memberikan dampak psikologis pada pelaku pasar, memicu kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global.
Tarif tinggi yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump dan balasan dari negara-negara lain membuat pasar semakin volatil. Ketidakpastian ini berdampak pada ekspektasi permintaan minyak dalam jangka menengah, karena perlambatan ekonomi biasanya berujung pada penurunan konsumsi energi.
Kunci Produksi Juli di Tangan Arab Saudi dan Rusia
Sebagai dua kekuatan utama dalam OPEC+, Arab Saudi dan Rusia akan menjadi kunci keputusan produksi bulan Juli. Kedua negara memiliki kepentingan besar dalam menjaga kestabilan harga, namun juga berhadapan dengan tekanan domestik untuk meningkatkan ekspor guna menstabilkan perekonomian masing-masing.
“Pertemuan akhir pekan nanti akan sangat menentukan. Jika OPEC+ memutuskan untuk mempertahankan produksi saat ini atau bahkan menguranginya, maka harga minyak berpotensi rebound. Namun jika terjadi pelonggaran produksi, harga bisa kembali ke tren menurun,” terang Dimas.
Sementara itu, analis senior dari Bloomberg Energy Markets menyatakan bahwa pasar juga mencermati stok minyak komersial di AS sebagai indikator tambahan. Kenaikan stok akan memperkuat sinyal oversupply dan menekan harga lebih lanjut.
Peluang dan Risiko bagi Negara Pengimpor
Bagi negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia, harga minyak yang relatif stabil memberikan sedikit ruang napas dalam menjaga stabilitas fiskal dan subsidi energi. Namun, volatilitas yang tinggi tetap menjadi tantangan utama bagi pengelolaan anggaran dan proyeksi energi nasional.
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, “Kondisi pasar saat ini masih sangat fluktuatif. Pemerintah perlu mengantisipasi risiko lonjakan harga dengan memperkuat cadangan energi dan mempercepat diversifikasi sumber energi domestik.”
Komaidi menambahkan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada fluktuasi pasar internasional, tetapi harus membangun ketahanan energi dari sisi hulu dan hilir. “Investasi di sektor energi terbarukan dan infrastruktur penyimpanan menjadi langkah strategis jangka panjang,” jelasnya.
Secara keseluruhan, stabilitas harga minyak saat ini mencerminkan keseimbangan rapuh antara dinamika pasokan dari OPEC+, risiko geopolitik Rusia-AS, serta tekanan ekonomi global akibat kebijakan tarif yang agresif. Keputusan OPEC+ pada pertemuan 31 Mei 2025 akan menjadi penentu arah harga minyak dalam beberapa bulan ke depan.
Pasar energi kini berada pada titik kritis, di mana setiap kebijakan dapat berdampak besar terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan. Dengan risiko geopolitik yang terus membayangi dan kebijakan luar negeri AS yang semakin agresif, pelaku pasar perlu bersiap menghadapi periode volatilitas yang tinggi.
“Penting bagi semua pihak untuk tetap waspada terhadap perkembangan geopolitik dan keputusan OPEC+, karena faktor-faktor inilah yang akan menjadi penentu utama tren harga minyak ke depan,” pungkas Lanny Sari Wibowo.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.