
JAKARTA - Upaya transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi hijau kian mendesak untuk menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim. Indonesia pun mulai menegaskan komitmen dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dengan mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) berbasis teknologi ramah lingkungan. Langkah ini diyakini akan menjadi kunci utama menurunkan emisi karbon nasional secara signifikan.
Energi hijau sendiri mencakup sumber energi yang berasal dari alam dan dapat diperbarui, seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, hingga panas bumi. Berbeda dengan energi fosil, energi hijau mampu menghasilkan listrik tanpa menimbulkan polusi yang memperparah pemanasan global.
Bahkan, saat ini teknologi panel surya dan turbin angin telah berkembang pesat sehingga bisa menghasilkan listrik dengan biaya yang semakin terjangkau. Kemajuan teknologi ini membuat energi hijau semakin kompetitif dibandingkan energi berbasis fosil. Meski begitu, masih ada tantangan besar di sektor produksi baterai yang banyak mengandalkan logam seperti litium dan kobalt.
Baca JugaHarga BBM Pertamina 28 Juni 2025: Pertamax Turun, Pertalite Tetap Rp10.000
Menurut data International Energy Agency (IEA), emisi karbon global terus meningkat dan telah mencapai titik kritis sejak era pra-industri. Laporan IPCC menyebut bahwa suhu bumi telah naik rata-rata 1,1 derajat Celsius. Kenaikan suhu ini menyebabkan bencana alam seperti badai besar, kekeringan, hingga banjir parah di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Untuk menahan laju krisis, teknologi hijau seperti penyimpanan energi berbasis baterai lithium-ion, sistem powerwall, hingga smart grid dinilai penting. Teknologi ini mampu mengatasi fluktuasi pasokan dari sumber energi surya dan angin, sehingga suplai listrik tetap stabil meski matahari tidak bersinar atau angin berhenti bertiup.
Dari sisi ekonomi, sektor energi hijau diyakini sebagai motor baru penciptaan lapangan kerja. Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), industri energi terbarukan sudah menyerap lebih dari 11 juta tenaga kerja di seluruh dunia pada tahun 2020.
Beberapa negara maju telah membuktikan keseriusan mereka dalam pengembangan energi hijau. Jerman, lewat program Energiewende, mampu menghasilkan 46 persen kebutuhan listrik nasionalnya dari energi terbarukan. China memiliki ladang panel surya terbesar di dunia yang terletak di Gurun Tengger dengan kapasitas 1.547 MW. Sementara Texas, Amerika Serikat, terkenal sebagai salah satu pusat energi angin terbesar dunia. Kenya juga memimpin dalam pemanfaatan panas bumi yang memenuhi 48 persen kebutuhan listrik nasionalnya.
Indonesia sendiri memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, diperkirakan mencapai 6 hingga 7.879 gigawatt (GW) dari berbagai sumber seperti surya, angin, dan panas bumi. Namun, hingga akhir 2023, porsi bauran energi baru terbarukan nasional baru mencapai 13,1 persen dari total kebutuhan energi. Pemerintah menargetkan angka ini naik menjadi 23 persen pada tahun 2025.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah diminta memperkuat regulasi, memberikan insentif fiskal yang menarik, serta menyiapkan infrastruktur yang memadai, termasuk jaringan transmisi khusus energi hijau.
Selain itu, pengembangan kompetensi sumber daya manusia (SDM) juga tak kalah penting. Dian Elvira Rosa, Deputy Team Leader RESD, menekankan bahwa SDM menjadi salah satu pilar dalam keberhasilan transisi energi hijau. “Generasi muda harus dibekali pemahaman dan keterampilan teknis agar siap terlibat dalam pengelolaan energi terbarukan,” kata Dian.
Langkah pelibatan generasi muda sudah mulai dilakukan lewat program Gerilya Academy yang menjadi ajang pelatihan khusus di bidang energi bersih bagi mahasiswa terpilih dari berbagai perguruan tinggi. Inisiatif ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah mendidik generasi pengelola EBT masa depan.
Meski begitu, tantangan terbesar transisi energi hijau di Indonesia tetap pada tingginya biaya awal pembangunan pembangkit EBT, ketidakstabilan pasokan karena variabilitas sumber daya, dan keterbatasan infrastruktur pendukung. Untuk itu, penulis Kompasiana menyarankan solusi berupa pemberian subsidi pembangunan EBT, perbaikan regulasi yang mendukung investasi, hingga penguatan kerjasama internasional agar teknologi hijau semakin terjangkau.
Selain itu, penting pula penggunaan teknologi dan bahan ramah lingkungan dalam proses produksi panel surya dan baterai agar dampak lingkungan dari hilir industri EBT dapat ditekan. “Adopsi teknologi hijau harus diiringi perubahan perilaku: mengurangi konsumsi berlebihan, mendaur ulang, dan menghormati alam,” tulis penulis Kompasiana dalam kesimpulan artikelnya.
Keseriusan semua pihak, mulai dari pemerintah, industri, akademisi, hingga masyarakat umum, mutlak dibutuhkan agar transisi menuju energi bersih tidak hanya menjadi wacana, tetapi terwujud secara nyata. Teknologi hijau memang bukan solusi tunggal, tetapi dapat menjadi “lentera” yang menuntun kita menuju masa depan berkelanjutan jika digunakan secara bijak, etis, dan bertanggung jawab.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Kolaborasi ESDM Sulbar dan Sulsel Perkuat Program Sambungan Listrik Gratis
- Sabtu, 28 Juni 2025