Percepatan Transisi Energi dalam 100 Hari Kepemimpinan Prabowo-Gibran: Tantangan dan Peluang

Kamis, 23 Januari 2025 | 08:01:19 WIB
Percepatan Transisi Energi dalam 100 Hari Kepemimpinan Prabowo-Gibran: Tantangan dan Peluang

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan genap mencapai 100 hari pada 28 Januari 2025. Selama masa awal pemerintahan ini, fokus utama perhatian tertuju pada transisi energi menuju energi terbarukan, sebuah tantangan besar yang dihadapi dalam konteks perubahan iklim global. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, seberapa jauh langkah konkret yang telah diambil pemerintahan ini untuk merealisasikan janji-janji besar tersebut?

Setelah pelantikan, Presiden Prabowo menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam penanggulangan perubahan iklim dan transisi energi terbarukan melalui pidatonya dalam berbagai forum internasional, termasuk APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil. Prabowo mengumumkan target ambisius untuk mencapai net zero carbon sebelum tahun 2050, dengan strategi menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dalam kurun waktu 15 tahun, mencapai 100 persen penggunaan energi terbarukan dalam satu dekade, dan mencapai swasembada listrik.

Meskipun pidato tersebut membawa harapan baru, kenyataannya hingga saat ini belum ada arahan spesifik dari presiden untuk memastikan tercapainya target ambisius tersebut. Pemerintah tampaknya masih lebih fokus pada proyek jangka panjang, seperti yang tercermin dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, yang meskipun menunjukkan dominasi energi terbarukan, belum menjelaskan langkah-langkah konkret yang harus diambil.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), semangat pemerintah untuk mencapai kemandirian energi dan mempercepat pencapaian nol emisi belum sepenuhnya terefleksi dalam tindakan nyata. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan, "Keberanian Presiden dan Wakil Presiden untuk melawan status quo dan kepentingan yang mempertahankan energi fosil sangat diperlukan agar Indonesia dapat meraih ketahanan dan swasembada energi." Tumia menegaskan perlunya langkah-langkah taktis yang segera, termasuk pembangunan 9 GW kapasitas energi terbarukan tahun ini.

Salah satu kritik utama adalah ketidaksesuaian antara komitmen verbal di tingkat internasional dan kebijakan nasional yang berlaku, seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Meski RUKN yang dirilis pada November 2024 masih menetapkan target net zero di tahun 2060 dan puncak emisi pada tahun 2035, pemerintah seharusnya segera menyesuaikan peraturan ini sesuai dengan komitmen Presiden untuk lebih progresif.

Sementara itu, IESR merekomendasikan agar pemerintah menyesuaikan rencana peningkatan penggunaan energi terbarukan dan meninggalkan teknologi energi fosil. "Komitmen presiden untuk pensiun dini PLTU batubara pada 2040-2045 harusnya disertai dengan penghentian pembangunan PLTU captive," ujar Fabby. IESR menegaskan pentingnya segera menerjemahkan komitmen transisi energi menjadi tindakan konkrit yang nyata.

Langkah penting lainnya adalah mengurangi subsidi energi fosil. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pengeluaran untuk subsidi energi fosil seperti BBM, LPG, dan listrik pada tahun 2024 mencapai Rp 386,9 triliun. "Penggunaan batubara yang kotor harus dihentikan, dan teknologi baru seperti CCS/CCUS belum terbukti mampu menurunkan emisi secara signifikan," tambah Fabby. Dana yang diperoleh dari mekanisme baru, seperti pemungutan 2,5-5 persen dari nilai ekspor batubara, diharapkan dapat mengumpulkan lebih dari US$ 1,25-2,5 miliar per tahun, yang bisa dialokasikan untuk pendanaan proyek energi terbarukan.

Pengembangan biodiesel pun menjadi sorotan utama dalam usaha menuju kemandirian energi. IESR memperingatkan bahwa tingginya permintaan minyak kelapa sawit untuk biodiesel berpotensi membawa dampak negatif seperti deforestasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sebagai solusi, IESR mendorong diversifikasi bahan baku biodiesel guna mengurangi ketergantungan tinggi pada minyak sawit.

Penting bagi Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam produksi biodiesel memenuhi kriteria keberlanjutan yang ketat. Langkah-langkah inovatif dalam kebijakan energi dan pengembangan teknologi bersih diperlukan untuk memastikan transisi energi ini tidak hanya menjawab kebutuhan energi nasional tetapi juga meminimalkan dampak lingkungan.

Memasuki masa 100 hari pemerintahan ini, tantangan transisi energi masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Dengan kondisi pasar global yang semakin mendesak kebutuhan akan produk dan jasa yang rendah emisi, Indonesia harus cepat beradaptasi. Komitmen pemerintah harus dihantarkan dengan kebijakan yang konkret dan terukur agar transisi energi ini tidak hanya menjadi wacana tetapi benar-benar dapat direalisasikan.

Terkini