Lelang Frekuensi 1,4 GHz: Tantangan dan Harapan Menuju Pemerataan Infrastruktur Internet di Pelosok Indonesia

Senin, 17 Februari 2025 | 23:38:57 WIB
Lelang Frekuensi 1,4 GHz: Tantangan dan Harapan Menuju Pemerataan Infrastruktur Internet di Pelosok Indonesia

JAKARTA - Pada era digital ini, akses internet yang merata merupakan kebutuhan fundamental bagi kemajuan suatu bangsa. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyediakan infrastruktur internet yang dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air. Rencana pemerintah untuk melelang frekuensi 1,4 GHz sebagai upaya memajukan teknologi broadband wireless access (BWA) berbasis regional menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan keberhasilannya di masa mendatang.

Teknologi BWA bukanlah inovasi baru di Indonesia. Selama bertahun-tahun, teknologi ini telah diimplementasikan dengan harapan dapat mendongkrak penetrasi internet di berbagai daerah, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang sering kali terabaikan dalam pembangunan infrastruktur digital. Sayangnya, sejarah penerapan BWA di Indonesia menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Kebijakan ini belum mampu memastikan akses dan kualitas layanan internet yang memadai di berbagai wilayah sasaran.

Trubus Rahardiansah, seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, mengekspresikan kekhawatiran mendalam terhadap kebijakan lelang frekuensi 1,4 GHz ini. Jika pemerintah tidak berhati-hati, skema serupa berisiko hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa memberikan dampak nyata bagi pemerataan akses internet di Indonesia.


Trubus menunjuk pada kasus Berca di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pelajaran penting. Pada saat itu, spektrum yang dilelang tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan infrastruktur internet. Kejadian ini menjadi peringatan bahwa kebijakan lelang frekuensi sebelumnya tidak efektif dalam mendorong pembangunan infrastruktur yang diperlukan di daerah-daerah terpencil.

Menurut Trubus, selain memperhatikan masalah teknis, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) harus menekankan transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. "Frekuensi dan jangkauan layanan merupakan barang publik dan layak jual. Komdigi sebaiknya dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya agar publik dapat memberikan masukan terhadap regulasi," tegas Trubus, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI).

Trubus mendesak agar proses konsultasi publik dilakukan dengan hati-hati dan komprehensif. Ia mengkhawatirkan jika upaya ini tidak dilakukan secara transparan, banyak pihak akan merasa curiga terhadap maksud sebenarnya dari lelang frekuensi ini. Dengan menyerukan keterbukaan, Trubus berharap agar Komdigi tidak hanya mementingkan perusahaan yang terafiliasi dengan kekuasaan, tetapi juga mendengar aspirasi masyarakat.

Salah satu kekhawatiran besar yang diungkapkan adalah potensi munculnya intervensi yang bisa membuat lelang ini dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan kekuasaan. Selain itu, ada potensi penetapan harga lelang yang terlalu rendah, yang dapat merugikan pendapatan negara.

"Kajian mengenai BWA lokal 1.4 GHz harus dibuka ke publik. Sehingga publik dapat melihat manfaatnya dan dapat memberikan masukan ketika ada kekurangan," lanjut Trubus, menyoroti pentingnya akses informasi yang jelas bagi masyarakat. Hal ini menurutnya adalah langkah penting untuk mencegah buruk sangka dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Waktu konsultasi publik yang sangat singkat juga mendapat sorotan dari Trubus. Dia berharap agar publik tetap diberikan kesempatan untuk memberikan masukan yang konstruktif setelah hasil kajian dibuka. "Jika persaingan usaha tak dijaga dengan baik, maka publik juga yang akan dirugikan," tambahnya, menekankan pentingnya menjaga iklim persaingan yang sehat dalam industri telekomunikasi nasional.

Kepada pemerintah, ia menekankan pentingnya membuat kebijakan yang berfokus pada pemerataan akses internet dan bukan hanya menguntungkan perusahaan tertentu. Hal ini perlu dilakukan demi kepentingan nasional dan untuk menghindari ketimpangan digital yang semakin melebar antara kawasan urban dan rural di Indonesia.

Langkah ke depan bagi Komdigi adalah merancang kebijakan yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis dan ekonomis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, memperkuat partisipasi publik, dan menjaga persaingan pasar yang adil. Hanya dengan demikian, diharapkan lelang frekuensi 1,4 GHz ini dapat menjadi pijakan baru menuju pemerataan infrastruktur internet dan mendukung transformasi digital yang inklusif di seluruh Indonesia.

Keberhasilan program ini nantinya akan menjadi contoh bagi implementasi kebijakan digital lainnya, sekaligus mengukuhkan posisi Indonesia dalam peta teknologi global. Komitmen dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci utama menuju kesuksesan pembangunan infrastruktur digital di negeri ini.

Terkini