JAKARTA - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di industri pertambangan mineral dan batubara masih menjadi sorotan utama. Masalah ini didiskusikan secara mendalam oleh anggota Dewan Bidang Riset dan Pengembangan Kesehatan Kerja Asosiasi Profesi Keselamatan Pertambangan Indonesia (APKPI), dr. Renauld Koswiranagara, dalam sebuah wawancara dengan nikel.co.id di Wisma Bidakara, Jakarta.
Keselamatan kerja di sektor pertambangan adalah isu krusial yang terus mendominasi perbincangan dalam industri, terutama mengingat risiko tinggi yang melekat pada pekerjaan di bidang ini. Kesadaran yang semakin meningkat terhadap pentingnya keselamatan kerja telah diterjemahkan ke dalam berbagai regulasi yang diterapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, pertanyaan penting yang masih menyisakan banyak perdebatan adalah: Siapakah yang paling bertanggung jawab atas keselamatan kerja di industri ini?
Tantangan dan Faktor Penting dalam Keselamatan Kerja
Menurut dr. Renauld Koswiranagara, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang kini aktif di APKPI, ada sejumlah tantangan besar yang perlu diperhatikan industri dalam upaya meningkatkan standar keselamatan di tempat kerja. Beberapa di antaranya mencakup aspek manusia (human factor), kondisi yang tidak aman (unsafe condition), dan tindakan tidak aman (unsafe act). Faktor-faktor tersebut dapat berpotensi besar menyebabkan kecelakaan kerja.
"Kesadaran semua pihak harus ditingkatkan, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga pekerja di lapangan. Tidak boleh ada toleransi terhadap kondisi kerja yang berpotensi menimbulkan kecelakaan," tegasnya.
Meningkatkan Pemeriksaan Kesehatan dan Pelatihan K3
Salah satu tantangan utama lainnya adalah penyakit mendadak atau acute illness yang dapat menimbulkan fatalitas di tempat kerja. Kesehatan pekerja yang tidak terpantau dengan baik bisa menjadi penyebab utama kecelakaan kerja yang berujung kematian. Dr. Renauld menekankan pentingnya tindak lanjut yang serius terhadap pemeriksaan kesehatan tahunan untuk mencegah perkembangan penyakit kronis menjadi kondisi akut.
"Pemeriksaan kesehatan tahunan harus diikuti dengan tindak lanjut yang serius agar penyakit kronis tidak berkembang menjadi kondisi akut yang berisiko fatal," jelasnya.
Selain itu, pelatihan K3 yang rutin dan sesuai kebutuhan lokasi kerja menjadi kunci penting dalam peningkatan standar keselamatan. Dr. Renauld merekomendasikan pelatihan yang dilakukan setiap minggu dengan topik yang bervariasi, seperti penanganan korban kecelakaan, penggunaan alat keselamatan, dan simulasi kondisi darurat.
Ajang seperti Indonesian Fire Rescue Challenge (IFRC) dianggap sebagai kesempatan berharga bagi pekerja untuk meningkatkan keterampilan dan berbagi pengalaman dalam menghadapi situasi darurat.
Peran Kolaboratif Tim HSE
Dalam rangka memperkuat sistem keselamatan kerja, tim Health, Safety, and Environment (HSE) berperan sentral dalam merancang dan menerapkan program K3. Namun, dr. Renauld menekankan bahwa kolaborasi yang efektif dibutuhkan antara tim HSE, tim medis, tim operasional, dan manajemen perusahaan.
"Kolaborasi dengan tim medis, tim operasional, serta manajemen perusahaan sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman," tambah dr. Renauld.
Keberhasilan implementasi keselamatan kerja di industri pertambangan sangat bergantung pada sinergi antara regulasi yang ketat dan kesadaran semua pihak terkait. Regulasi yang ada perlu diterapkan secara konsisten untuk benar-benar menurunkan angka kecelakaan kerja.
Implementasi Regulasi yang Lebih Ketat
Dalam menghadapi tantangan ini, dr. Renauld menegaskan pentingnya implementasi regulasi yang lebih ketat. Meskipun sudah ada aturan dan sanksi yang berlaku, penerapannya di lapangan masih menghadapi banyak hambatan.
"Kesadaran semua pihak harus ditingkatkan, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga pekerja di lapangan. Tidak boleh ada toleransi terhadap kondisi kerja yang berpotensi menimbulkan kecelakaan," ujarnya sambil merujuk pada insiden kecelakaan kerja baru-baru ini di IMIP.