Danantara dan Laba BUMN: Untuk Siapa Sebenarnya

Jumat, 25 Juli 2025 | 10:48:47 WIB
Danantara dan Laba BUMN: Untuk Siapa Sebenarnya

JAKARTA - Di tengah upaya reformasi dan perampingan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kehadiran lembaga superholding Daya Anagata Nusantara (Danantara) mulai menimbulkan polemik baru di ruang publik. Seiring bergulirnya wacana pengelolaan laba BUMN secara terpusat oleh Danantara, sejumlah kalangan mempertanyakan arah kebijakan ini: untuk siapa sebenarnya keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara ini dikelola?

Gagasan membentuk satu entitas besar untuk mengonsolidasikan BUMN bukanlah hal baru. Sejak era Menteri BUMN pertama Tanri Abeng pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ide membentuk superholding sudah digagas sebagai respons terhadap jumlah BUMN yang terlalu banyak dan tersebar di berbagai sektor industri—bahkan yang tidak terkait langsung dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Selain terlalu gemuk, struktur manajerial yang birokratis dan minim transparansi dinilai membuat BUMN tidak efisien.

Kini, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 (revisi ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003), pemerintah dan DPR RI mempercepat pembentukan kerangka hukum baru yang memungkinkan struktur manajemen lebih fleksibel dan adaptif terhadap dinamika global. Revisi ini diklaim mendukung efektivitas, efisiensi, serta tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance).

Namun, realisasi dari cita-cita tersebut melalui peran Danantara justru menimbulkan pertanyaan. Apakah model yang diterapkan saat ini benar-benar mencerminkan semangat reformasi BUMN yang transparan dan akuntabel? Terlebih, ketika peran strategis Danantara diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto.

PP ini menjadi dasar hukum pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang bertugas mengelola pengumpulan laba BUMN dan menjalankan aksi korporasi. Meski sudah memiliki landasan hukum, proses penyusunan PP 10/2025 disebut-sebut tidak melalui uji publik yang memadai, bahkan materiilnya masih diperdebatkan di sejumlah kalangan hukum dan kebijakan publik.

Yang menjadi sorotan lebih lanjut adalah struktur organisasi Danantara yang didominasi tokoh-tokoh swasta, bahkan disebut sebagai “anak kos” di lingkungan BUMN oleh beberapa pengamat. Di sisi lain, komposisi kepemimpinan ini menimbulkan tanya, mengingat Danantara diberi kewenangan penuh atas dana triliunan rupiah hasil laba dari BUMN strategis seperti Pertamina, PLN, BRI, Mandiri, BNI, dan MIND ID.

Polemik kian mengemuka ketika muncul isu Danantara berencana membeli saham minoritas PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo), di tengah rumor merger perusahaan tersebut dengan Grab. Meski belum ada konfirmasi resmi, wacana ini memunculkan kegelisahan publik. Sejauh mana uang negara, dalam hal ini laba BUMN, bisa digunakan untuk aksi korporasi yang tidak terkait langsung dengan core business negara?

Apalagi, Pasal 2 ayat (1) dari PP 10/2025 secara jelas menyatakan bahwa Danantara menerima pelimpahan wewenang dari Presiden RI untuk mengelola BUMN. Dengan tanggung jawab langsung kepada presiden, posisi Menteri BUMN tampaknya mulai mengalami perubahan strategis yang signifikan. Padahal dalam UU sebelumnya, tepatnya Pasal 14 UU 19/2003, keputusan strategis BUMN selalu diambil melalui forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang menjadi ruang akuntabilitas pengambilan keputusan.

Kini, kekhawatiran muncul bahwa kewenangan RUPS akan dikooptasi oleh struktur baru di Danantara. Menteri BUMN yang kini juga menjadi Dewan Pengawas Danantara, dikhawatirkan tak lagi punya kontrol penuh terhadap jalannya keputusan korporasi, termasuk dalam hal penunjukan direksi dan komisaris masing-masing BUMN.

Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih dalam: siapa yang sebenarnya berwenang mengelola dan mengarahkan strategi BUMN? Apakah Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara, atau Erick Thohir sebagai Menteri BUMN?

Lebih penting lagi, bagaimana dengan pengelolaan laba BUMN yang telah mencapai Rp304 triliun pada 2024—meski mengalami penurunan sebesar 7,03% dibanding tahun sebelumnya? Apakah dana sebesar itu akan digunakan sepenuhnya oleh Danantara, ataukah tetap ada porsi yang dikembalikan kepada masing-masing BUMN sebagai bentuk penguatan modal dan insentif atas kinerja mereka?

Kekhawatiran publik tak bisa dikesampingkan. Banyak pihak mencemaskan bahwa model “super holding” ini berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan jika tak ada mekanisme pengawasan yang tegas dan independen. Apalagi, keputusan penting kini bisa diambil melalui PP yang disahkan presiden, tanpa melibatkan proses legislasi yang transparan dan akuntabel.

Di tengah situasi ini, pertanyaan fundamental pun mengemuka: untuk kepentingan siapa sesungguhnya laba BUMN dikumpulkan dan dikelola oleh Danantara? Apakah demi efisiensi manajemen BUMN atau ada agenda bisnis lain yang tak sejalan dengan semangat konstitusi?

Jika kerangka hukum dan manajemen tidak diperjelas, bukan tidak mungkin pengelolaan aset negara ini akan menjauh dari prinsip akuntabilitas publik. Keberadaan forum strategis seperti RUPS bukan sekadar prosedural, melainkan esensi pengawasan terhadap penggunaan dana negara. Maka dari itu, revisi tata kelola BUMN harus kembali pada ruh konstitusi: menyejahterakan rakyat, bukan memperluas dominasi kekuasaan korporasi.

Terkini