Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi Memicu Kontroversi dan Dampak Lingkungan

Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi Memicu Kontroversi dan Dampak Lingkungan
Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi Memicu Kontroversi dan Dampak Lingkungan

Belum genap 100 hari sejak dilantik, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah menghadapi kritik tajam atas rencana ambisiusnya membuka 20 juta hektar lahan hutan untuk ketahanan pangan, energi, dan air. Rencana ini menuai ragam kekhawatiran dari berbagai kalangan, termasuk para pegiat lingkungan dan masyarakat adat, yang menilai langkah ini dapat memperparah kerusakan lingkungan, mengakibatkan krisis iklim, dan menimbulkan bencana.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bahwa ada sekitar 1,1 juta hektar lahan yang berpotensi menghasilkan 3,5 juta ton beras per tahun. Padi gogo, yang dapat tumbuh di lahan kering, dan tanaman aren sebagai sumber bioetanol menjadi komoditas unggulan dalam proyek ini. "Satu hektar aren mampu menghasilkan 24.000 kiloliter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta hektar aren, kita bisa menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter," ujarnya saat rapat di Istana Kepresidenan, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com.

Namun, ide ini menyalahi komitmen Indonesia untuk mengendalikan emisi karbon dan bertentangan dengan tujuan net zero emission, memperburuk krisis iklim, dan dapat memicu konflik dengan masyarakat adat yang hidup di sekitar wilayah hutan.

Reaksi Beragam dari Aktivis dan Masyarakat

Supintri Yohar dari Yayasan Auriga Nusantara menyoroti risiko bencana akibat pengubahan bentang alam secara masif. "Menanam sawit, tanaman energi, atau padi di kawasan hutan artinya mengubah tutupan hutan yang kemudian meningkatkan potensi bencana," tegasnya.

Amelya Reza Oktaviani dari Trend Asia menilai bahwa proyek ini akan memerlukan lahan yang sangat luas, dan menyebutkan bahwa 2,3 juta hektar lahan sudah dialokasikan untuk hutan tanaman energi bagi PLTU. Dia juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dalam melaporkan emisi yang dihasilkan. "Emisi dari pembukaan hutan dan penggunaan biofuel tidak pernah diungkapkan jelas oleh pemerintah," tambahnya.

Sementara itu, Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) khawatir bahwa masyarakat adat akan kehilangan ruang hidup mereka. "Sudah lebih satu dekade kita menunggu Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat. Sampai sekarang, belum ada kejelasan terkait perlindungan mereka," tuturnya.

Faktor Deforestasi dan Kehilangan Biodiversitas

Tindakan membuka lahan hutan seluas dua kali lipat Pulau Jawa ini akan meningkatkan deforestasi, yang sudah mencapai 10,3 juta hektar selama 2001-2022 berdasarkan data Global Forest Watch. Ini juga memperburuk hilangnya keanekaragaman hayati di Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan spesies terancam punah terbanyak.

Ketakutan hilangnya sumber pangan, air, dan meningkatnya kejadian bencana seperti longsor, kekeringan, dan banjir, juga diungkapkan oleh berbagai kelompok lingkungan. Pasalnya, kebijakan ini dinilai mengabaikan model pertanian berkelanjutan yang melibatkan petani lokal dengan pengetahuan tradisional dalam mengelola tanah dengan cara yang ramah lingkungan.

Ancaman Konflik Sosial dan Ekologis

Pius Ginting dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menegaskan bahwa rencana ini bertentangan dengan target forestry and other land uses (FoLU) Net Sink 2030. "Ketika hutan ditebang, kemampuan serapan karbon juga berkurang, menambah tekanan pada emisi gas rumah kaca," ujarnya.

Lebih dari itu, terdapat ancaman nyata bagi masyarakat adat dan konflik agraria yang dapat timbul dari pemanfaatan lahan skala besar ini. "Sekitar 30 juta hektar hutan sudah digunakan untuk berbagai perizinan, dan menambah proyek baru hanya akan memicu konflik lebih lanjut," kata Roni Septian Maulana dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Solusi Berkelanjutan dan Keterlibatan Publik

Para ahli menyerukan agar pemerintah lebih fokus pada revitalisasi lahan pertanian yang sudah ada, melibatkan petani lokal dalam proses produksi, dan menjaga keseimbangan ekosistem. "Kebijakan pembangunan pangan seharusnya berfokus pada kesejahteraan petani, bukan dominasi korporasi," kata Uli Artha Siagian dari Walhi Nasional.

Roni Septian Maulana juga mengingatkan pentingnya reformasi agraria dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, yang sering menjadi korban dari kebijakan penggunaan lahan yang merugikan.

Pemerintah dinilai perlu lebih transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan pakar lingkungan, dalam menyusun kebijakan seputar pengelolaan dan penggunaan lahan. "Konsultasi publik sangat penting untuk memastikan kebijakan tidak merugikan dan sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan," tambah Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia.

Langkah maju dalam ketahanan pangan dan energi harus memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan manusia. Tanpa pendekatan holistik dan inklusif, rencana pembukaan 20 juta hektar hutan ini hanya akan menjadi solusi semu, meninggalkan warisan krisis ekologis dan sosial yang lebih dalam.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Reaktivasi Jalur Kereta Banjar–Pangandaran Dinilai Paling Siap, Pemprov Jabar Siapkan Skema Anggaran Bertahap

Reaktivasi Jalur Kereta Banjar–Pangandaran Dinilai Paling Siap, Pemprov Jabar Siapkan Skema Anggaran Bertahap

Rusia Rencanakan Penerbangan Langsung ke Indonesia, Pemerintah Indonesia Respons Positif

Rusia Rencanakan Penerbangan Langsung ke Indonesia, Pemerintah Indonesia Respons Positif

Mazda Siapkan Peluncuran Mobil Listrik EZ-60, Crossover Listrik Pertama dengan Platform Modular EPA1

Mazda Siapkan Peluncuran Mobil Listrik EZ-60, Crossover Listrik Pertama dengan Platform Modular EPA1

BMKG Mengeluarkan Peringatan Waspada Hujan dan Gelombang Laut di Maluku Utara

BMKG Mengeluarkan Peringatan Waspada Hujan dan Gelombang Laut di Maluku Utara

Harga Komoditas Sembako Cenderung Stabil dan Beberapa Mengalami Penurunan Pasca Lebaran di Kabupaten Temanggung

Harga Komoditas Sembako Cenderung Stabil dan Beberapa Mengalami Penurunan Pasca Lebaran di Kabupaten Temanggung