
JAKARTA - Krisis energi di Eropa semakin genting setelah Ukraina memutuskan untuk menutup jalur transit gas dari Rusia. Efektif pada tanggal 1 Januari 2025, langkah ini secara resmi mengakhiri puluhan tahun dominasi Rusia di pasar energi benua biru tersebut. Jalur pipa yang menuju Eropa lewat wilayah Ukraina bukan hanya sekadar infrastruktur, melainkan urat nadi distribusi energi yang telah menopang Erepa selama beberapa dekade.
Pada Jumat, 3 Januari 2025, perusahaan raksasa energi Rusia, Gazprom, telah mengonfirmasi bahwa aliran gas ke Eropa via Ukraina dihentikan. Penutupan ini terjadi sekitar pukul 8 pagi waktu setempat pada hari Rabu, 1 Januari 2025. Gazprom dan Ukraina tidak mencapai kesepakatan baru setelah berakhirnya perjanjian transit lima tahun, yang disebabkan oleh konflik dan ketegangan geopolitik yang tak kunjung mereda.
Keputusan ini menandai berakhirnya era penting dalam sektor energi, di mana Rusia telah mengalirkan gas ke Eropa melalui Ukraina sejak 1991. Sebagai akibatnya, sejumlah negara Uni Eropa diprediksi akan mengalami dampak paling signifikan dari krisis ini. Namun, Rusia sendiri mempunyai alternatif jalur pipa lainnya seperti TurkStream, yang menghubungkan Rusia dengan negara-negara seperti Hungaria, Serbia, dan Turki.
Dampak ekonomi dari penutupan ini tidak dapat diabaikan. Ukraina diperkirakan akan kehilangan hingga USD 1 miliar per tahun dari biaya transit gas Rusia, ungkap laporan Reuters. Sementara itu, Gazprom mengantisipasi kerugian penjualan gas yang mencapai hampir USD 5 miliar. Ini menciptakan efek domino bagi ekonomi kedua negara dan mengancam stabilitas pasokan energi di Eropa.
Negara-negara seperti Slowakia, Austria, dan Moldova kini berada dalam posisi paling rentan karena sangat tergantung pada gas transit Rusia. Berdasarkan data Rystad Energy, pada tahun 2023, Slowakia telah mengimpor sekitar 3,2 miliar meter kubik gas, Austria mencapai 5,7 miliar meter kubik, dan Moldova mendapatkan 2 miliar meter kubik. Ketergantungan ini memaksa negara-negara tersebut untuk segera mencari alternatif sumber energi.
Pemerintah Austria menyatakan kesiapan menghadapi tantangan ini. "Austria telah mempersiapkan diri untuk skenario terburuk dan memastikan ketersediaan energi yang cukup untuk warganya," demikian pernyataan resmi dari Kementerian Energi Austria. Meskipun demikian, kekhawatiran membayangi banyak negara lainnya yang tidak memiliki strategi mitigasi yang sama solidnya.
Sementara itu, strategi diversifikasi sumber energi menjadi prioritas utama bagi banyak negara Eropa. Negara-negara ini harus beralih ke pemasok lain atau sumber energi alternatif seperti tenaga angin, surya, dan nuklir. Namun, transisi energi tidaklah mudah dan membutuhkan waktu serta investasi yang signifikan.
Atas keputusan yang diambil, beberapa pihak menyuarakan kritik terhadap Rusia dan Ukraina. Meskipun kepentingan ekonomi sangat dijunjung tinggi, banyak yang berpendapat bahwa keamanan energi harus didahulukan. Kondisi ini memicu seruan agar Eropa mempercepat usaha independensinya dari energi fosil dan pihak ketiga, terutama yang bergantung pada infrastruktur geopolitik yang rapuh.
Keseluruhan situasi ini menandai titik perubahan dalam kebijakan energi Eropa dan menjadi pengingat bagi seluruh dunia akan pentingnya strategi energi. Krisis ini membuka percakapan lebih lanjut tentang kelangsungan pasokan energi yang stabil dan aman dalam menghadapi tantangan politik dan ekonomi global.
Seiring dengan perkembangan ini, Eropa harus bersiap menghadapi musim dingin yang lebih sulit. Bergantung pada pemanasan dan listrik dengan sumber daya yang terbatas, negara-negara Eropa dihimbau untuk bersatu dalam mengatasi krisis ini dengan solidaritas dan inovasi. Masa depan energi Eropa kini berada di tangan para pembuat kebijakan, yang dituntut untuk bertindak cepat dan strategis dalam menentukan langkah ke depan di era baru energi ini.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.