Indonesia Menuju Energi Hijau dengan Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pertama
- Jumat, 03 Januari 2025

JAKARTA - Dalam upayanya mencapai target ambisius emisi nol bersih pada tahun 2060, Indonesia sedang merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertamanya. Proyek ini, yang berada di Pulau Kelasa, Kepulauan Bangka Belitung, menandai langkah besar bagi Indonesia dalam mengadopsi sumber energi yang lebih hijau di tengah kontroversi biaya, keamanan, dan risiko lingkungan.
Pemerintah dan pendukung proyek ini berargumen bahwa tenaga nuklir menawarkan alternatif rendah karbon yang andal dibandingkan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara. “Ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di ASEAN yang resmi menggunakan nuklir,” ungkap Bob S. Effendi, Direktur Operasi ThorCon Power Indonesia, melalui unggahannya di Facebook.
Tonggak Sejarah di Asia Tenggara
Jika terwujud, PLTN di Pulau Kelasa akan menjadi yang pertama di kawasan Asia Tenggara. Rencana ini merupakan bagian dari Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2060, di mana energi nuklir disebutkan sebagai salah satu sumber energi baru yang diharapkan menyumbang sekitar 10% dari total produksi listrik di Indonesia. Proyek ini, menurut Bob Effendi, ThorCon, perusahaan asal Amerika Serikat, berencana membangun PLTN berbasis torium dengan kapasitas 500 MW di wilayah yang dikenal kaya akan timah tersebut. Torium, yang sering ditemukan bersama timah di Bangka Belitung, dianggap lebih aman dan efisien dibandingkan dengan uranium.
Dorongan Menuju Diversifikasi Energi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa langkah ini sesuai dengan strategi diversifikasi energi nasional. Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada batu bara, yang menyumbang sekitar 67% dari pembangkit listrik nasional. “Menyangkut dengan nuklir ini saya pikir ini salah satu terobosan yang harus kita lakukan,” jelas Bahlil dalam rapat dengan DPR pada Desember lalu, seraya menambahkan bahwa target operasional PLTN pertama adalah tahun 2032.
Namun, hingga kini, pembangkit listrik tenaga nuklir di Pulau Kelasa masih dalam tahap studi lokasi, menurut Indra Gunawan dari BAPETEN. Belum ada permintaan izin pembangunan yang diterima, meski ThorCon sudah merencanakan pembangunan hingga 20 PLTN di masa datang. "Belum ada permintaan izin pembangunan PLTN di Pulau Kelasa kepada BAPETEN," jelas Indra.
Kontroversi dan Tantangan Keamanan
Meski menawarkan banyak potensi, rencana ini menghadapi tantangan besar. Para pengkritik menyorot potensi risiko keamanan, biaya pengelolaan limbah, dan ancaman lingkungan yang mungkin timbul. “Jangan sampai ambil jalan pintas yang mengkompromasi teknologi dan standar keamanan,” ungkap Putra Adhiguna dari Energy Shift Institute, menyoroti kebutuhan akan kehati-hatian dalam proses pembangunan ini.
Aktivis lingkungan seperti Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia juga mengingatkan bahwa meskipun nuklir dianggap rendah emisi saat operasi, ada risiko jejak lingkungan dari tahap penambangan hingga pengelolaan limbah. “Energi nuklir tidak memiliki tempat untuk masa depan yang aman, bersih, dan berkelanjutan. Kita harus menjauh dari solusi palsu dan meninggalkan tenaga nuklir menjadi masa lalu,” tuturnya.
Potensi Masalah dan Regulasi
Letak Indonesia di wilayah Cincin Api Pasifik juga menjadi perhatian. Meski wilayah seperti Bangka Belitung dianggap lebih stabil secara seismik, kekhawatiran tentang potensi bencana nuklir tetap ada. “Di Jepang juga banyak reaktor didirikan di wilayah gempa, jadi ada solusi engineering untuk hal tersebut,” kata Indra Gunawan.
Konsultasi publik dan transparansi akan menjadi kunci untuk melewati resistensi lokal yang masih kuat. Dwi Sawung dari Walhi menegaskan pentingnya disiplin dan pengawasan ketat, mengingat kualitas keselamatan kerja masih menjadi tantangan di Indonesia. “Di Indonesia, masalah disiplin, independensi pengawasan dan hukuman terhadap pelanggaran K3 masih buruk,” katanya.
Pandangan Positif dan Masa Depan
Meski banyak tantangan, ada secercah harapan. Agus Puji Prasetyono dari Dewan Energi Nasional dan Natio Lasman, mantan kepala BAPETEN, keduanya menilai bahwa investasi awal yang besar dapat membuahkan hasil yang signifikan dalam jangka panjang. “Reaktor nuklir modular lebih murah dan mampu menghasilkan listrik dengan biaya 7-8 sen dolar per kWh,” ujar Agus.
Dengan potensi energi terbarukan yang besar namun kurang dimanfaatkan, langkah ini bisa menjadi batu loncatan menuju masa depan energi yang lebih bersih—namun membutuhkan regulasi yang jelas dan dukungan kebijakan yang konsisten. Dengan Indonesia yang memiliki sumber daya energi fosil semakin menipis, pilihan beralih ke nuklir tampaknya menjadi langkah yang dipertimbangkan serius untuk masa depan energi negara ini.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.