Ketahanan Energi Jadi Strategi Kunci Menuju Indonesia Emas 2045, Bukan Sekadar Swasembada
- Selasa, 08 April 2025

JAKARTA - Menuju visi besar Indonesia Emas 2045, wacana mengenai energi nasional semakin mengerucut pada dua hal utama: swasembada energi dan ketahanan energi. Namun, para ahli menilai bahwa dalam kondisi geopolitik dan pasar global yang dinamis, ketahanan energi menjadi langkah yang jauh lebih realistis dan berkelanjutan dibanding mengejar swasembada energi secara mutlak.
Swasembada energi, yang berarti pemenuhan seluruh kebutuhan energi nasional tanpa impor, dianggap sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan produksi domestik serta ketergantungan tinggi pada energi fosil, khususnya minyak.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, produksi minyak Indonesia menurun signifikan dari 1,6 juta barel per hari (bph) pada tahun 1995 menjadi hanya sekitar 575 ribu bph di tahun 2024. Padahal, kebutuhan nasional telah mencapai 1,6 juta bph. Artinya, lebih dari 60 persen konsumsi minyak masih bergantung pada impor.
Baca JugaHarga BBM di Apau Kayan Tembus Rp 60 Ribu per Liter, Pertamina: Itu Ulah Pengecer
Sementara itu, meskipun cadangan gas alam Indonesia tergolong besar, yakni sekitar 100 triliun kaki kubik (TCF), eksplorasi wilayah laut dalam yang menyimpan potensi tersebut terkendala oleh biaya dan keterbatasan teknologi. Di sektor energi terbarukan, potensi lebih dari 400 gigawatt (GW) belum dimaksimalkan, dengan realisasi kapasitas terpasang masih di bawah 12 persen.
“Bergantung sepenuhnya pada swasembada energi dalam waktu dekat bisa menjadi langkah yang mahal dan tidak efisien. Ketahanan energi harus menjadi fondasi utama,” ujar seorang pengamat energi dari Universitas Indonesia yang tak ingin disebutkan namanya.
Ketahanan energi sendiri merupakan konsep yang lebih fleksibel. Fokus utamanya adalah menjamin pasokan energi yang stabil, terjangkau, dan berkelanjutan, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Negara-negara besar seperti Jepang dan Jerman telah sukses menerapkan strategi ini dengan kombinasi diversifikasi sumber energi, efisiensi, dan investasi infrastruktur.
Belajar dari praktik global tersebut, Indonesia disarankan menerapkan lima strategi utama untuk memperkuat ketahanan energi:
-Diversifikasi Energi
Pengurangan ketergantungan pada minyak dan gas harus dilakukan melalui perluasan bauran energi, termasuk optimalisasi potensi energi terbarukan.
-Transisi ke Energi Bersih
Alih teknologi ke energi bersih dan terbarukan menjadi kebutuhan mendesak. Ketahanan energi memungkinkan akselerasi penggunaan teknologi penyimpanan energi dan smart grid.
-Efisiensi Energi dan Aksesibilitas
Data dari International Energy Agency (IEA) menyebutkan efisiensi energi dapat menghemat hingga 20% konsumsi nasional. Kebijakan ini penting untuk sektor industri dan transportasi.
-Penguatan Infrastruktur Energi
Investasi pada jaringan listrik modern dan infrastruktur penyimpanan energi perlu digenjot agar energi tersedia secara merata dan andal.
-Peningkatan Cadangan Strategis
Saat ini, cadangan minyak Indonesia hanya cukup untuk 20 hari konsumsi. Angka ini tertinggal jauh dari Amerika Serikat (60 hari) dan Jepang (90 hari). Pemerintah perlu menargetkan cadangan strategis setidaknya untuk 60 hari konsumsi nasional.
“Transformasi mindset dari swasembada energi menuju ketahanan energi harus menjadi prioritas nasional jika Indonesia ingin mencapai target besar Indonesia Emas 2045 secara realistis,” lanjut narasumber tersebut.
Kebijakan energi yang adaptif, terukur, dan berpihak pada keberlanjutan bukan hanya penting untuk menjamin pasokan energi, tetapi juga menjadi pondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, dan kemandirian bangsa di masa depan.

Nathasya Zallianty
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.