Mayoritas Nikel Indonesia Masih Digunakan untuk Stainless Steel, Bukan Baterai Mobil Listrik
- Jumat, 02 Mei 2025

JAKARTA — Meski Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia, pemanfaatan komoditas strategis ini untuk produksi baterai kendaraan listrik ternyata masih sangat terbatas. Sebagian besar nikel Indonesia, lebih dari 60 persen, justru digunakan untuk memproduksi baja tahan karat (stainless steel), bukan untuk baterai mobil listrik yang kian dibutuhkan dalam era transisi menuju energi bersih.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Puryanto, General Manager Lisence and Government Relation PT Mobil Anak Bangsa (MAB), dalam sesi dialog di ajang Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2025 yang digelar pada Kamis, 1 Mei 2025.
“Teknologi baterai, Indonesia punya banyak nikel tapi nikel baru salah satu bahan untuk baterai. Lithium-nya harus diimpor juga. Tambang nikel paling banyak digunakan untuk stainless steel,” kata Puryanto. Ia menambahkan bahwa hanya sekitar 19 persen nikel Indonesia yang digunakan untuk bahan baku baterai, sedangkan lebih dari 60 persen dialokasikan untuk produksi baja tahan karat.
Baca Juga
Potensi Besar Nikel Indonesia dan Realitas Pemanfaatannya
Indonesia saat ini menduduki posisi strategis sebagai eksportir dan produsen nikel terbesar secara global. Logam ini menjadi komponen penting dalam produksi berbagai jenis baterai, termasuk Nickel Manganese Cobalt (NMC) yang banyak digunakan dalam kendaraan listrik. Namun, karena struktur industri hulu dan hilir yang belum sepenuhnya terintegrasi, pemanfaatan nikel untuk teknologi baterai masih minim dibanding potensi yang dimiliki.
Baterai jenis NMC (Nickel Manganese Cobalt), menurut Puryanto, memiliki sejumlah keunggulan yang menjadikannya pilihan utama dalam kendaraan listrik modern. "Baterai NCM punya kepadatan energi tinggi, bobot ringan, dan ketahanan terhadap siklus pelepasan muatan yang baik. Ini sangat cocok untuk kendaraan yang membutuhkan jangkauan lebih jauh dan efisiensi tinggi," jelasnya.
Namun, meski keunggulan teknologi ini sangat menjanjikan, pengembangan baterai di dalam negeri masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya ketergantungan pada bahan baku impor seperti lithium dan cobalt, yang belum tersedia secara komersial dalam jumlah besar di Indonesia.
Kendala Hilirisasi Baterai di Indonesia
Indonesia memang kaya akan nikel, namun untuk memproduksi baterai kendaraan listrik jenis NMC, dibutuhkan bahan pendukung lain seperti lithium dan cobalt yang sebagian besar masih harus diimpor dari negara lain. Hal ini menjadi tantangan besar dalam hilirisasi industri baterai di dalam negeri.
Menurut berbagai studi, industri baterai merupakan sektor strategis dalam transisi energi karena menjadi komponen utama dalam pengembangan kendaraan listrik (EV) dan sistem penyimpanan energi terbarukan (ESS). Namun tanpa penguatan ekosistem bahan baku yang menyeluruh, upaya Indonesia menjadi pemain utama dalam industri baterai global akan menghadapi banyak hambatan.
“Indonesia belum punya tambang lithium skala besar. Kebutuhan lithium untuk NCM masih kita impor, jadi walaupun kita punya cadangan nikel melimpah, kita belum bisa produksi baterai secara penuh di dalam negeri,” jelas Puryanto.
Nikel untuk Stainless Steel Masih Mendominasi
Permintaan global terhadap stainless steel masih tinggi, dan Indonesia menjadi salah satu pemain besar dalam rantai pasok tersebut. Akibatnya, sebagian besar tambang nikel Indonesia masih diserap untuk industri baja tahan karat.
Berdasarkan data dari berbagai riset industri, lebih dari 60 persen produksi nikel di Indonesia masih terserap oleh industri stainless steel. Sementara pemanfaatan untuk baterai lithium-ion baru berada di kisaran 19–20 persen. Proporsi ini menunjukkan bahwa meski pemerintah mendorong hilirisasi dan industrialisasi bahan baku dalam negeri, masih diperlukan upaya lebih besar untuk mendorong transformasi pemanfaatan nikel ke sektor strategis masa depan seperti baterai EV.
Harapan dan Dorongan Pemerintah
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mencanangkan berbagai kebijakan hilirisasi nikel, termasuk pelarangan ekspor bijih nikel mentah sejak 2020 dan pembangunan smelter serta pabrik baterai di beberapa wilayah seperti Morowali dan Halmahera. Tujuannya adalah agar nilai tambah dari nikel bisa dinikmati di dalam negeri, sekaligus mendorong Indonesia menjadi pusat industri baterai dan kendaraan listrik di kawasan Asia.
Namun, keberhasilan kebijakan ini juga sangat bergantung pada ketersediaan bahan pendukung lain dan sinergi lintas sektor antara industri pertambangan, manufaktur, riset teknologi, hingga sektor keuangan.
Dalam konteks ini, pengembangan teknologi baterai dan integrasi rantai pasok sangat krusial. Dibutuhkan investasi besar dan transfer teknologi agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tapi juga produsen baterai dan kendaraan listrik yang kompetitif di pasar internasional.
Transisi Energi dan Peran Strategis Nikel
Sebagai bagian dari agenda global menuju net zero emission 2060, Indonesia memiliki komitmen besar untuk mendorong transisi ke energi bersih. Kendaraan listrik menjadi salah satu fokus utama dalam peta jalan transisi tersebut. Dalam konteks ini, peran nikel sebagai bahan baku baterai menjadi sangat vital.
Namun, transformasi besar ini tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam. Diperlukan strategi industri yang holistik, investasi di sektor hilir, serta kemitraan dengan negara lain untuk membangun ekosistem baterai yang kuat.
Puryanto menegaskan pentingnya percepatan hilirisasi. "Kalau kita ingin jadi pemain besar di industri baterai, kita tidak bisa hanya menjual nikel mentah atau setengah jadi. Kita harus bisa masuk ke industri baterai itu sendiri, termasuk teknologi dan manufakturnya,” tegasnya.
Pemanfaatan nikel Indonesia masih didominasi oleh industri baja tahan karat, bukan untuk baterai mobil listrik yang potensinya terus meningkat. Meski tantangan masih besar, peluang Indonesia untuk menjadi pemimpin global dalam industri baterai sangat terbuka, asalkan ada sinergi antara pemerintah, industri, dan akademisi untuk mendorong inovasi, investasi, dan transfer teknologi.
Jika arah kebijakan hilirisasi terus diperkuat, dan bahan pendukung seperti lithium dan cobalt bisa diakses secara strategis, Indonesia bisa menjadi negara kunci dalam rantai pasok global kendaraan listrik dan energi bersih masa depan.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.