
JAKARTA - Perkembangan transportasi udara di wilayah Toraja menghadapi tantangan besar. Setelah sempat membuka beberapa jalur penerbangan komersial, kini Bandara Buntu Kuni hanya mengoperasikan satu rute aktif: Toraja–Seko. Kondisi ini menjadi cerminan nyata bagaimana potensi konektivitas udara di daerah belum sepenuhnya mampu berjalan seiring dengan kebutuhan pasar dan daya beli masyarakat.
Hingga Juli 2025, rute penerbangan yang sebelumnya menghubungkan Toraja ke Manado dan Balikpapan resmi dihentikan. Kedua rute ini sebelumnya dilayani oleh maskapai Wings Air. Keputusan penghentian operasional bukan tanpa sebab. Jumlah penumpang yang rendah dan terbatasnya subsidi dari pemerintah menjadi dua faktor utama yang mendorong kebijakan ini.
"Keputusan penutupan dua rute ini yang dilayani Wings Air diambil menyusul rendahnya jumlah penumpang serta terbatasnya subsidi dari pemerintah," ungkap First Officer Wings Air, Masri.
Baca Juga
Penurunan layanan penerbangan di Toraja sebenarnya sudah dimulai sejak lebih awal, yakni dengan dihentikannya rute Toraja–Makassar. Harapan sempat muncul ketika rute baru Toraja–Manado diluncurkan pada 7 Juli 2025. Namun, hanya dalam hitungan minggu, rute ini juga harus ditutup karena faktor yang sama: kurangnya minat masyarakat.
Rute Toraja–Manado semula digadang-gadang menjadi jalur strategis yang memperkuat konektivitas antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Peresmiannya pun dilakukan secara langsung oleh Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen (Purn) TNI Yulius Selvanus. Namun, sambutan pasar tidak sehangat ekspektasi awal.
Di balik minimnya penumpang, isu harga tiket menjadi sorotan tajam. Berdasarkan pantauan dari beberapa platform pemesanan daring, tiket pesawat rute Toraja–Makassar dibanderol Rp1,28 juta sekali jalan. Sementara itu, tarif penerbangan Toraja–Manado mencapai kisaran Rp1,01 juta. Angka tersebut cukup tinggi, terlebih untuk masyarakat yang berada di daerah dengan daya beli relatif terbatas.
Sebaliknya, rute Toraja–Seko yang masih aktif hingga kini menawarkan harga tiket yang jauh lebih terjangkau, yakni sekitar Rp225 ribu sekali jalan. Perbedaan harga yang signifikan ini turut memengaruhi kecenderungan masyarakat dalam memilih moda transportasi.
Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi infrastruktur transportasi dan kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan tersebut. Bandara Buntu Kuni sebenarnya memiliki kapasitas dan fasilitas untuk melayani penerbangan antarwilayah. Namun, aspek ekonomi masyarakat setempat dan subsidi yang terbatas membuat operasional tidak bisa maksimal.
Masri menambahkan bahwa belum ada keputusan kapan layanan penerbangan komersial lainnya akan kembali dibuka. Semua keputusan tersebut masih menunggu instruksi dari manajemen pusat Wings Air dan otoritas penerbangan.
“Hal itu sangat bergantung pada arahan dari manajemen pusat dan otoritas penerbangan,” ujar Masri.
Dengan hanya menyisakan rute ke Seko, Bandara Buntu Kuni seolah kehilangan denyut konektivitas antarprovinsi yang sempat dibangun. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan wilayah Toraja yang berharap dapat berkembang lebih cepat melalui akses transportasi udara.
Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan bisa mencari solusi agar penerbangan dari dan ke Toraja tidak hanya bergantung pada satu jalur. Alternatif seperti peningkatan subsidi, promosi destinasi, hingga kolaborasi lintas sektor perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali aktivitas bandara secara berkelanjutan.
Terlebih, Toraja memiliki potensi pariwisata yang cukup besar. Jika dikelola dengan baik dan didukung oleh konektivitas udara yang memadai, daerah ini bisa menjadi salah satu destinasi unggulan di kawasan timur Indonesia. Namun, konektivitas yang mahal atau tidak stabil justru bisa menjadi penghambat.
Saat ini, Bandara Buntu Kuni masih beroperasi, namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Masyarakat dan pelaku usaha yang bergantung pada mobilitas udara pun harus kembali mencari alternatif transportasi darat yang membutuhkan waktu tempuh jauh lebih lama.
Kondisi ini menjadi refleksi penting bahwa pembangunan infrastruktur tidak cukup hanya pada fisik, tetapi harus dibarengi dengan strategi keberlanjutan layanan dan keterjangkauan harga. Tanpa dukungan menyeluruh, bahkan infrastruktur terbaik pun bisa tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dengan kenyataan bahwa rute penerbangan dari Toraja semakin menyusut, muncul pertanyaan besar: bagaimana masa depan konektivitas udara di wilayah ini? Apakah pemerintah akan turun tangan dengan intervensi subsidi yang lebih signifikan? Atau maskapai mencari model bisnis baru yang lebih fleksibel terhadap pasar daerah?
Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti: keberlangsungan layanan udara di daerah seperti Toraja memerlukan sinergi antara penyedia layanan, regulator, dan masyarakat itu sendiri. Tanpa itu, fasilitas seperti Bandara Buntu Kuni hanya akan menjadi monumen infrastruktur, bukan penggerak pertumbuhan wilayah.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Edukasi Pasar Modal untuk ASN Badung
- 25 Juli 2025
2.
Harga iPhone 11 Pro Max Turun Tajam Agustus 2025
- 25 Juli 2025
3.
7 Wisata Alam Hits di Purbalingga
- 25 Juli 2025
4.
Film Baru Netflix Agustus 2025
- 25 Juli 2025
5.
BYD Atto 1: Dynamic vs Premium
- 25 Juli 2025