Harga Minyak Dunia Naik, Pemerintah Hadapi Dilema

Harga Minyak Dunia Naik, Pemerintah Hadapi Dilema
Harga Minyak Dunia Naik, Pemerintah Hadapi Dilema

JAKARTA - Lonjakan harga minyak dunia akibat memanasnya konflik di Timur Tengah menempatkan Indonesia pada posisi dilematis. Ketegangan antara Israel, Amerika Serikat (AS), dan Iran diprediksi akan memberikan dampak serius terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia sebagai negara pengimpor minyak.

Konflik yang melibatkan tiga kekuatan besar ini menyita perhatian dunia. Iran sebagai salah satu negara produsen minyak terbesar dunia kini terlibat langsung dalam ketegangan tersebut, terutama setelah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur vital pengiriman minyak global. Situasi ini membuat harga minyak dunia melonjak tajam dalam waktu singkat.

Bagi Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak dan gas (migas), kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah menghadapi tantangan berat untuk menjaga keseimbangan fiskal dan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian harga energi dunia.

Baca Juga

Harga Minyak Dunia Menguat 5 Persen Setelah Serangan AS ke Iran

Ancaman Ekonomi Global Mengintai

Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menegaskan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi potensi buruk dari kenaikan harga minyak dunia. Lonjakan harga minyak bukan sekadar urusan pasar global, tetapi memiliki efek berantai yang dapat mengguncang perekonomian domestik.

“Iran adalah produsen minyak terbesar keempat di OPEC dan merupakan penjaga jalur kritis dunia, Selat Hormuz. Sekitar 20 persen suplai minyak global melewati selat ini,” ungkap Achmad Nur Hidayat kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL.

Menurut Achmad, situasi bisa memburuk kapan saja. Satu insiden kecil seperti rudal nyasar saja bisa memicu ketegangan yang meluas, mengakibatkan disrupsi suplai minyak dunia dan kerugian triliunan dolar AS secara global.

“Satu ledakan saja, satu rudal nyasar, cukup untuk memicu disrupsi yang menelan triliunan dolar kerugian global,” ujarnya.

Achmad menjelaskan, sejak kabar serangan udara dikonfirmasi oleh media internasional, pasar berjangka minyak mentah langsung merespons dengan lonjakan harga tajam. Dalam waktu singkat, harga minyak melonjak dari 78 dolar AS per barel menjadi 80 dolar AS per barel. Prediksinya, harga minyak dunia bisa terus naik drastis dalam beberapa hari ke depan.

“Diprediksi dalam satu minggu ke depan bila ketegangan berlanjut bisa mencapai 110 dolar AS per barel. Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus 150 hingga 170 dolar AS per barel,” kata Achmad.

Inflasi Global Mengintai, Indonesia Harus Siap-siap

Kenaikan harga minyak dunia tentu akan berdampak pada inflasi global. Biaya logistik internasional akan melonjak, harga kebutuhan pokok berpotensi naik, dan daya beli masyarakat secara global, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, akan mengalami tekanan berat.

“Efek domino dari ini sangat luas: inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan tentu saja ancaman resesi,” lanjut Achmad Nur Hidayat.

Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor energi terbesar di kawasan Asia Tenggara dipastikan akan merasakan pukulan telak jika harga minyak dunia terus melonjak. Apalagi, perekonomian Indonesia baru mulai pulih pasca-pandemi, sehingga gangguan besar seperti lonjakan harga minyak bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.

“Negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia akan sangat terpukul,” tegasnya.

Pemerintahan Prabowo di Persimpangan Jalan

Situasi dilematis kini mengadang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Di satu sisi, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan beban subsidi energi. Namun di sisi lain, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah kondisi sosial ekonomi yang belum sepenuhnya stabil dapat memicu ketidakpuasan masyarakat.

Achmad menilai pemerintah harus mengambil keputusan cepat, rasional, dan berpihak pada kepentingan nasional. Dua skenario yang mungkin diambil adalah menaikkan harga BBM untuk menyesuaikan harga pasar atau menambah anggaran subsidi BBM yang akan memperbesar defisit anggaran negara.

“Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang akan memperlebar defisit anggaran,” tandasnya.

Pilihan Sulit, Dampak Sosial Mengintai

Dampak sosial dari kedua pilihan tersebut sama-sama berat. Jika pemerintah memilih menaikkan harga BBM, akan terjadi gelombang inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat. Namun jika memilih mempertahankan harga BBM dengan menambah subsidi, maka defisit anggaran negara bisa membengkak dan mempengaruhi prioritas belanja negara lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Menurut Achmad, salah satu cara untuk mengurangi beban fiskal akibat kenaikan harga minyak dunia adalah dengan mempercepat program transisi energi, khususnya memperbesar porsi energi terbarukan. Namun, program tersebut memerlukan waktu, sedangkan krisis harga minyak bisa terjadi dalam waktu dekat.

“Pemerintah memang sudah memiliki program transisi energi, tapi implementasinya harus lebih dipercepat agar ketergantungan kita pada impor migas bisa ditekan,” paparnya.

Respons Global Terhadap Ketegangan Timur Tengah

Lonjakan harga minyak dunia tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga oleh hampir seluruh negara pengimpor energi. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan harga minyak dunia. Sebagai catatan, Selat Hormuz menjadi jalur kritis bagi ekspor minyak dari Timur Tengah ke negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika.

Negara-negara besar lainnya seperti Rusia, China, dan negara-negara Uni Eropa mulai menyuarakan kekhawatiran yang sama. Bahkan Rusia secara tegas menyatakan bahwa serangan militer oleh AS terhadap Iran berpotensi memicu perang besar-besaran di kawasan Timur Tengah.

Di sisi lain, Iran juga menunjukkan sikap keras terhadap agresi AS dan sekutunya. Parlemen Iran bahkan sudah menyetujui opsi penutupan Selat Hormuz sebagai langkah balasan atas serangan terhadap fasilitas nuklir mereka.

Respons keras Iran tersebut menambah ketegangan geopolitik global, membuat pelaku pasar semakin waspada, dan memperbesar risiko gangguan suplai energi dunia.

Solusi Jangka Pendek dan Panjang

Dalam jangka pendek, pemerintah Indonesia harus bersiap melakukan langkah-langkah mitigasi untuk menjaga stabilitas harga energi domestik. Salah satunya dengan optimalisasi stok cadangan BBM nasional dan mempercepat pembahasan opsi-opsi tambahan subsidi yang lebih tepat sasaran.

Dalam jangka panjang, percepatan penggunaan energi terbarukan dan diversifikasi sumber energi menjadi solusi yang tidak bisa ditunda lagi. Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan memperkuat ketahanan energi nasional agar tidak selalu terpukul oleh gejolak pasar global.

“Resolusi damai Iran-Israel tidak bisa ditunggu lagi. Dunia internasional harus segera mendorong penyelesaian damai agar harga minyak dunia kembali stabil,” tegas Achmad Nur Hidayat mengakhiri pernyataannya.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Harga BBM Non Subsidi di Indonesia Turun Lagi, Pertalite Tetap Rp10.000 per Liter

Harga BBM Non Subsidi di Indonesia Turun Lagi, Pertalite Tetap Rp10.000 per Liter

Praktisi Migas Usulkan Impor LNG Tidak Dimonopoli PGN, Industri Lain Harus Dilibatkan

Praktisi Migas Usulkan Impor LNG Tidak Dimonopoli PGN, Industri Lain Harus Dilibatkan

Produksi Batu Bara China Terhenti, Harga Dunia Fluktuatif

Produksi Batu Bara China Terhenti, Harga Dunia Fluktuatif

Indonesia Miner 2025 Dorong Pertambangan Berkelanjutan

Indonesia Miner 2025 Dorong Pertambangan Berkelanjutan

ESDM Kaltim Pastikan Jalan Nasional Bebas Hauling Batu Bara

ESDM Kaltim Pastikan Jalan Nasional Bebas Hauling Batu Bara