
JAKARTA - Meski dunia masih diliputi ketidakpastian akibat dinamika tarif dan tensi geopolitik, Dana Moneter Internasional (IMF) justru memberikan sinyal optimisme dengan menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 dan 2026. Langkah IMF ini seakan menunjukkan bahwa kekuatan belanja masyarakat dan pelonggaran kebijakan tarif masih mampu menopang laju ekonomi dunia, meskipun tantangan tetap besar.
Dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook edisi Juli 2025, IMF menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global 2025 diperkirakan naik sebesar 0,2% menjadi 3,0%, sementara untuk tahun 2026 diperkirakan tumbuh 3,1%, naik tipis 0,1%. Angka ini menunjukkan sedikit perbaikan dibanding laporan sebelumnya, tetapi masih lebih rendah dibanding proyeksi Januari (3,3%) dan rata-rata pertumbuhan pra-pandemi (3,7%).
Kondisi tersebut, menurut IMF, dipicu oleh lonjakan belanja menjelang pemberlakuan tarif baru AS pada 1 Agustus, serta turunnya tarif impor efektif yang diberlakukan AS, yang menciptakan ruang pertumbuhan yang lebih luas dalam jangka pendek.
Baca Juga
“Kondisi ini mencerminkan percepatan belanja yang lebih kuat dari perkiraan menjelang kenaikan tarif; tarif efektif rata-rata AS yang lebih rendah dari yang diumumkan pada April; perbaikan kondisi keuangan, termasuk karena pelemahan dolar AS; serta ekspansi fiskal di sejumlah negara besar,” demikian kutipan laporan IMF.
Inflasi Global Menurun, Tapi Risiko Masih Ada
Selain menyoroti pertumbuhan, IMF juga memproyeksikan bahwa inflasi global akan menurun menjadi 4,2% pada 2025 dan turun lagi menjadi 3,6% pada 2026. Namun, risiko tetap membayangi, terutama di Amerika Serikat, di mana kenaikan harga konsumen akibat tarif baru bisa menahan laju penurunan inflasi.
Dalam laporan tersebut, IMF menegaskan bahwa meskipun tarif impor efektif AS telah menurun, ketidakpastian global tetap tinggi. Misalnya, tarif efektif AS turun dari 24,4% pada laporan April menjadi 17,3%, dan tarif rata-rata global menurun dari 4,1% menjadi 3,5%. Ini menunjukkan upaya de-eskalasi tarif, termasuk kesepakatan sementara antara China dan AS untuk menurunkan tarif selama 90 hari, berlaku hingga 12 Agustus 2025.
Selain itu, penundaan pemberlakuan tarif tinggi AS terhadap mitra dagang utama dari tanggal 9 Juli menjadi 1 Agustus turut memberikan dorongan sementara bagi aktivitas ekonomi global.
Namun, IMF tetap memberikan peringatan bahwa ekonomi global belum sepenuhnya aman dari risiko, terutama jika tarif tinggi kembali diterapkan, disertai ketegangan geopolitik dan defisit fiskal yang meningkat yang bisa mendorong kenaikan suku bunga global.
Tantangan Perdagangan dan Risiko Jangka Menengah
Dalam wawancara dengan Reuters, Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas menegaskan bahwa kondisi ekonomi dunia masih berada dalam fase rawan, meskipun belum mencapai tingkat krisis seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.
“Perekonomian dunia masih terluka, dan akan terus terluka dengan tarif di level saat ini, meskipun tidak seburuk yang dikhawatirkan,” ujar Gourinchas.
Ia mengungkapkan bahwa perjanjian tarif baru sebesar 15% yang dicapai antara AS, Uni Eropa, dan Jepang masih dalam tahap evaluasi dan belum dimasukkan dalam proyeksi Juli. Meski demikian, Gourinchas menyebut tarif dalam kesepakatan tersebut masih sejalan dengan asumsi tarif efektif 17,3%.
“Saat ini kami belum melihat perubahan signifikan terhadap tarif efektif yang diberlakukan AS. Tapi masih belum pasti apakah kesepakatan ini akan bertahan atau akan dibatalkan,” ujarnya.
Menurut simulasi IMF, pertumbuhan global 2025 bisa lebih rendah 0,2% jika tarif maksimum yang diumumkan pada April dan Juli diberlakukan sepenuhnya.
Gourinchas juga menyoroti fenomena penimbunan stok oleh pelaku usaha yang terjadi menjelang pemberlakuan tarif. Meskipun mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek, ia memperingatkan bahwa efek ini tidak akan bertahan lama.
“Dampaknya akan memudar dan menjadi beban bagi aktivitas ekonomi pada paruh kedua 2025 hingga awal 2026. Akan ada efek pembalikan dari percepatan itu,” jelasnya.
IMF juga mencatat adanya depresiasi dolar AS sebagai fenomena baru dalam konflik perdagangan global, yang meskipun membantu melonggarkan kondisi keuangan dunia, justru membebani negara lain melalui peningkatan biaya impor.
Proyeksi Per Wilayah: AS, Eropa, dan China
Secara lebih spesifik, IMF memberikan proyeksi sebagai berikut:
Amerika Serikat: Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 1,9% pada 2025 dan naik ke 2% pada 2026. Kebijakan fiskal AS yang ekspansif disebut akan menambah defisit fiskal sebesar 1,5%, dengan pendapatan tarif hanya menutupi separuhnya.
Zona Euro: Proyeksi pertumbuhan untuk 2025 dinaikkan menjadi 1,0% dari sebelumnya, dan tetap 1,2% pada 2026. Dorongan utama berasal dari ekspor farmasi Irlandia ke AS.
China: IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan 2025 sebesar 0,8% dan 2026 sebesar 0,2% menjadi 4,2%, dipicu oleh pemulihan ekonomi dan penurunan tarif AS–China setelah gencatan sementara.
Untuk negara-negara berkembang dan pasar berkembang (emerging market), IMF memperkirakan pertumbuhan mencapai 4,1% pada 2025, sedikit melambat menjadi 4,0% pada 2026.
Sementara itu, proyeksi perdagangan dunia juga direvisi, dengan 2025 naik 0,9% menjadi 2,6%, namun untuk 2026 diturunkan 0,6% menjadi 1,9%.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
2.
3.
Properti Jakarta Kembali Bangkit
- 30 Juli 2025
4.
Infrastruktur Jalan Kunci Pertumbuhan Kalteng
- 30 Juli 2025
5.
Transportasi Terintegrasi Dukung Efisiensi Nasional
- 30 Juli 2025