
JAKARTA - Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa dilepaskan dari peran vital sektor transportasi. Namun, bukan hanya pembangunan infrastruktur fisik yang dibutuhkan, melainkan juga integrasi antarmoda yang menyeluruh. Sistem transportasi nasional yang terhubung dan efisien menjadi kunci dalam mengurangi kemacetan, menurunkan emisi karbon, serta menekan biaya logistik yang selama ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia.
Kementerian Perhubungan, melalui Direktorat Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Ditjen Intram), menegaskan bahwa perbaikan menyeluruh terhadap sistem transportasi menjadi prioritas strategis. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Ditjen Intram, Risal Wasal, saat berbicara dalam Indonesia Railway Conference 2025 yang berlangsung di JIExpo Kemayoran, Jakarta.
Dalam forum tersebut, Risal menguraikan beberapa tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini di sektor transportasi. Menurutnya, permasalahan klasik seperti kemacetan kronis di perkotaan, biaya logistik yang tinggi, dan ketergantungan besar pada moda transportasi darat masih terus membebani sistem ekonomi nasional.
Baca Juga
“Solusinya bukan sekadar membangun infrastruktur, tetapi menciptakan sistem transportasi yang saling terhubung secara antarmoda dan antarwilayah,” tegas Risal dalam paparannya.
Salah satu sorotan utama dalam paparannya adalah tingginya jumlah kendaraan pribadi yang beroperasi di Indonesia. Dengan 140 juta sepeda motor dan 20 juta mobil, tekanan terhadap sistem jalan nasional begitu besar. Hal ini tidak hanya menimbulkan kemacetan, tetapi juga menyumbang signifikan terhadap emisi karbon.
Di kawasan Jabodetabek, emisi karbon akibat sektor transportasi mencapai angka mencengangkan, yakni sekitar 270 kilogram per hari. Jumlah tersebut mencakup 79 persen dari total emisi karbon wilayah tersebut. Jika tidak diintervensi dengan sistem transportasi massal yang terintegrasi, dampaknya terhadap lingkungan akan semakin parah.
Selain permasalahan lingkungan, aspek ekonomi juga tak luput dari perhatian. Biaya logistik Indonesia saat ini berada pada angka 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Bandingkan dengan rata-rata Singapura (4,3), Malaysia (3,6), atau Vietnam (3,3). Skor Logistics Performance Index Indonesia pun masih tertinggal di angka 3,0.
Menurut Risal, biaya logistik yang tinggi menjadi hambatan besar dalam menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Oleh karena itu, pembangunan sistem transportasi yang terintegrasi diyakini menjadi salah satu solusi strategis untuk menurunkan beban tersebut.
“Transportasi terintegrasi bukan hanya memudahkan mobilitas masyarakat, tetapi juga berdampak langsung pada produktivitas, pemerataan pembangunan, dan daya saing logistik nasional,” jelasnya.
Ia juga memaparkan sejumlah proyek percontohan integrasi transportasi yang telah menunjukkan hasil positif. Salah satu yang menonjol adalah kawasan Transit Oriented Development (TOD) di Dukuh Atas dan Stasiun Halim KCJB. Kawasan ini mengintegrasikan moda transportasi seperti kereta cepat, LRT, TransJakarta, taksi daring, hingga jalur pejalan kaki dalam satu simpul. Hasilnya, nilai properti di sekitar kawasan meningkat hingga 50 persen, serta aktivitas ekonomi lokal kembali menggeliat.
Untuk mengakselerasi pencapaian sistem transportasi nasional yang terintegrasi, Ditjen Intram telah merancang roadmap jangka menengah 2025–2029. Peta jalan ini mencakup pengembangan simpul-simpul transportasi strategis di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di kawasan metropolitan, tetapi juga di daerah-daerah yang selama ini kurang terlayani oleh transportasi massal.
Sebagai bagian dari modernisasi sistem transportasi, Kementerian Perhubungan juga mulai mendorong adopsi teknologi digital, salah satunya melalui konsep Mobility as a Service (MaaS). Platform ini memungkinkan pengguna mengakses berbagai moda transportasi secara terintegrasi dalam satu aplikasi digital.
Penerapan MaaS, menurut Risal, akan memudahkan masyarakat dalam merencanakan perjalanan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, teknologi ini juga membuka peluang kolaborasi antara pemerintah, operator transportasi, dan sektor swasta dalam menyediakan layanan yang inovatif dan inklusif.
Namun, Risal mengingatkan bahwa transformasi sektor transportasi tidak bisa hanya dijalankan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi erat lintas sektor dan lintas level pemerintahan. “Kami mengajak semua pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, operator transportasi, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama membangun sistem transportasi yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan,” pungkasnya.
Dengan semangat kolaboratif tersebut, diharapkan sistem transportasi nasional yang terintegrasi benar-benar bisa terwujud, bukan hanya sebagai visi jangka panjang, tetapi sebagai realita yang dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
2.
3.
Properti Jakarta Kembali Bangkit
- 30 Juli 2025
4.
Infrastruktur Jalan Kunci Pertumbuhan Kalteng
- 30 Juli 2025
5.
Transportasi Terintegrasi Dukung Efisiensi Nasional
- 30 Juli 2025