Bisnis Perhotelan di Banda Aceh Terpukul Efisiensi Anggaran, Terutama di Sektor Meeting Room
- Jumat, 21 Februari 2025

JAKARTA - Bisnis perhotelan di Banda Aceh sedang menghadapi tantangan besar akibat kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan ini secara signifikan telah menurunkan penggunaan fasilitas hotel untuk kegiatan perkantoran, yang terutama berdampak pada penyewaan ruang pertemuan di hotel-hotel setempat. Penurunan ini menjadi ancaman serius bagi pendapatan bisnis perhotelan, terutama yang memiliki banyak ruang pertemuan.
Diperkirakan efek domino dari penghematan anggaran ini sangat terasa, dengan banyak instansi pemerintah yang sebelumnya mengandalkan fasilitas meeting di hotel kini mengalihkan aktivitas mereka ke tempat lain. Riyo Adi Wisaksono, Konsultan Ayani Hotel Banda Aceh, mengungkapkan perubahan signifikan dalam permintaan ruang pertemuan sejak kebijakan ini diberlakukan.
“Sebelumnya, banyak instansi pemerintah yang menggunakan fasilitas meeting di hotel. Namun, sekarang kegiatan perkantoran tidak lagi dilakukan di hotel, sehingga berdampak pada okupansi ruang pertemuan,” ujar Riyo dalam wawancara bersama RRI, Jumat 21 Februari 2025.
Dampak dari kebijakan ini tidak hanya dirasakan pada penurunan okupansi ruang pertemuan, tetapi juga pada layanan makanan dan minuman yang biasanya menyertai kegiatan rapat. Riyo menambahkan, “Kalau tidak ada meeting, mereka tidak akan memesan makanan atau minuman.” Dengan kata lain, penurunan permintaan terhadap ruang pertemuan turut menggerus penjualan sektor lain yang terkait.
Dalam menghadapi tantangan ini, Ayani Hotel berupaya mencari jalan keluar dengan menerapkan strategi promosi baru. Mereka mengoptimalkan kehadiran mereka pada platform pemesanan daring seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, dan Expedia. “Kami meningkatkan alokasi kamar ke Online Travel Agent (OTA) dengan berbagai promo. Jika dulu jatahnya hanya 30 kamar, sekarang kami tingkatkan menjadi 60 kamar,” ungkap Riyo.
Ini membuktikan bahwa adaptasi dan inovasi dalam strategi pemasaran menjadi kunci bagi hotel-hotel untuk tetap berkompetisi di tengah tekanan pengurangan anggaran pemerintah. Namun, Riyo juga mengakui bahwa meskipun langkah-langkah ini diambil, dampak penurunan masih terasa signifikan, terutama bagi hotel yang sangat bergantung pada penyewaan ruang pertemuan.
Menurut Riyo, “Hotel yang punya banyak meeting room pasti terkena dampaknya.” Hal ini menyoroti bahwa hotel yang selama ini mengandalkan penyewaan fasilitas meeting untuk pemasukan utama harus segera mencari diversifikasi dalam portofolio layanan mereka untuk tetap bertahan.
Pengalihan kegiatan perkantoran dari hotel ke tempat lain bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi industri perhotelan di Banda Aceh. Seperti yang tercatat dalam sejumlah kebijakan pemerintah, fokus penghematan anggaran sejalan dengan tren pengetatan fiskal. Penghematan ini tidak hanya berdampak pada sektor perhotelan, tetapi juga pada sektor lain yang secara tidak langsung terlibat seperti penyedia jasa katering, event organizer, dan transportasi.
Adanya kebijakan efisiensi anggaran ini juga memaksa pihak hotel untuk mempertimbangkan kembali model bisnis mereka yang selama ini berfokus pada kerjasama dengan institusi pemerintah. Dengan menurunnya penggunaan fasilitas oleh pemerintah, hotel-hotel di Banda Aceh harus memperluas fokus pasar mereka kepada sektor privat atau mencari peluang lain seperti acara-acara sosial dan pertemuan bisnis swasta.
Dalam konteks yang lebih luas, tantangan ini juga memunculkan pertanyaan seputar keberlanjutan industri perhotelan lokal di tengah dinamika kebijakan ekonomi. Jika kebijakan efisiensi anggaran berlanjut dalam jangka panjang, hotel-hotel di Banda Aceh perlu menyiapkan strategi jangka panjang yang lebih fleksibel dan berkelanjutan.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.