Asuransi Jadi Fokus LPS dalam Skema Penjaminan Polis 2028

Asuransi Jadi Fokus LPS dalam Skema Penjaminan Polis 2028
Asuransi Jadi Fokus LPS dalam Skema Penjaminan Polis 2028

JAKARTA - Upaya pemerintah untuk melindungi nasabah asuransi semakin konkret menjelang diberlakukannya Program Penjaminan Polis (PPP) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2028. Sejumlah diskusi teknis terus digelar, tak hanya terkait jenis asuransi yang akan dijamin, namun juga mencakup syarat perusahaan asuransi yang bisa ikut serta dan mekanisme iuran yang adil dan berkelanjutan.

PT Asuransi Asei Indonesia (ASEI), sebagai salah satu pelaku industri, ikut menyuarakan masukan strategis agar skema penjaminan berjalan efektif dan adil bagi semua pihak. Direktur Utama ASEI, Dody Achmad Sudiyar, menyampaikan bahwa penjaminan polis sebaiknya difokuskan pada produk-produk proteksi murni, sementara produk yang mengandung unsur investasi perlu perlakuan berbeda.

“Lini usaha asuransi yang dijamin dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama yang wajib, meliputi asuransi jiwa tradisional, asuransi kesehatan, asuransi umum (kendaraan, properti, kebakaran) dan asuransi mikro,” ujar Dody.

Baca Juga

Perbankan Genjot KPR FLPP untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Sementara itu, lanjut Dody, untuk lini usaha yang tidak wajib atau bersifat parsial, sebaiknya mencakup produk seperti unit linked, asuransi kredit—yang memiliki potensi moral hazard tinggi hingga asuransi komersial besar, seperti marine cargo dan asuransi di sektor migas.

Dalam kerangka proteksi masyarakat, ia juga mengusulkan agar limit klaim penjaminan mengacu pada pola yang diterapkan di perbankan. Ia menyebut angka Rp2 miliar per nasabah per perusahaan asuransi sebagai titik acuan yang ideal, dengan opsi fleksibilitas pada produk tertentu.

“Sedangkan untuk produk asuransi mikro dapat dijamin 100% jika nilai klaim di bawah Rp50 juta, demi perlindungan masyarakat kecil,” katanya.

Langkah ini menurut Dody akan memberikan kepastian bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang merupakan kelompok paling rentan bila terjadi gagal bayar pada perusahaan asuransi. Dengan jaminan penuh untuk klaim kecil, ia yakin PPP akan lebih diterima publik.

ASEI juga menilai skema iuran bagi peserta penjaminan perlu diatur secara proporsional. Konsep risk-based premium atau iuran berdasarkan tingkat risiko perusahaan menjadi pendekatan yang dinilai paling adil. Perusahaan dengan modal dan kesehatan keuangan baik seharusnya mendapat insentif berupa iuran lebih ringan.

“Iuran bisa dibayar dua kali dalam setahun atau tahunan dengan skema diskon bagi perusahaan yang memiliki RBC lebih dari 300%,” jelas Dody.

Adapun untuk perusahaan asuransi yang ingin ikut dalam skema penjaminan ini, Dody menegaskan pentingnya seleksi berdasarkan indikator keuangan yang ketat. Beberapa di antaranya mencakup risk-based capital (RBC) minimal 120%–150%, kepemilikan ekuitas sesuai ketentuan OJK, dan laporan keuangan yang telah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.

Lebih jauh, kesiapan perusahaan secara tata kelola juga menjadi kriteria penting. “Syarat peserta penjaminan polis bisa dilihat dari manajemen risiko aktif dan kepatuhan IFRS/PSAK 117 serta perusahaan asuransi tidak dalam pengawasan khusus OJK,” tegasnya.

Guna memastikan kesiapan seluruh elemen industri, Dody menyarankan agar dilakukan uji coba terlebih dahulu terhadap skema penjaminan ini. Uji coba tersebut, menurutnya, perlu melibatkan simulasi penanganan apabila terjadi perusahaan gagal bayar, baik dalam konteks takeover claim maupun likuidasi.

“Mekanisme penanganan perusahaan asuransi yang gagal bayar harus disimulasikan sebelum pemberlakukan ketentuan penjaminan polis di tahun 2028, agar jelas bagaimana nantinya LPS akan melakukan takeover claim atau likuidasi,” pungkas Dody.

Sebagai informasi, wacana Program Penjaminan Polis telah berkembang sejak beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kekhawatiran publik atas maraknya kasus gagal bayar di industri asuransi. Program ini diproyeksikan serupa dengan penjaminan simpanan di perbankan, di mana nasabah diberikan jaminan atas simpanannya dalam batas tertentu apabila lembaga keuangan mengalami kegagalan.

Beberapa pihak mengusulkan agar Indonesia belajar dari negara-negara yang lebih dulu menerapkan program serupa, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Mekanisme, batas penjaminan, serta struktur kelembagaannya menjadi bahan evaluasi dan rujukan dalam merancang PPP di Indonesia.

Dukungan dari kalangan industri menjadi sinyal positif bagi pemerintah dan LPS dalam menyusun kerangka kebijakan yang komprehensif. Namun, tantangan masih terbuka, terutama dalam menyelaraskan antara kepentingan perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri asuransi.

Dengan semakin jelasnya usulan dari pelaku industri seperti ASEI, pemerintah diharapkan dapat segera menyusun peraturan teknis serta melakukan sosialisasi yang luas agar para pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang sama menjelang implementasi program pada 2028 mendatang.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Investasi Semester I 2025 Tembus Rp942,9 T Berkat Hilirisasi

Investasi Semester I 2025 Tembus Rp942,9 T Berkat Hilirisasi

Penyaluran KUR BRI Tembus Rp 83 Triliun

Penyaluran KUR BRI Tembus Rp 83 Triliun

BCA Permudah Bayar Perawatan di RSU San Medical

BCA Permudah Bayar Perawatan di RSU San Medical

BNI Permudah Bayar Virtual Account

BNI Permudah Bayar Virtual Account

Pasar Modal Bergerak, Cermati Sentimen Pekan Ini

Pasar Modal Bergerak, Cermati Sentimen Pekan Ini